20 vs 30 #9

29.4K 1.7K 131
                                    

Pov Avara

Aku mematut diri di depan cermin kamar, make up natural soft sudah menghias wajah lonjongku. Kebaya modern dengan bawahan selutut mengembang membuatku semakin pede. Ini kesukaanku, aku memutar tubuhku. Sempurna dan hatiku bahagia walau awalnya aku ragu.

Jujur aku teramat gugup dan berdebar, ini sesuatu yang baru dan belum pernah terlintas di pikiranku. Tak ada rencana jangka pendek aku akan segera menikah. Rencanaku hanya ingin menikmati hidup. Keinginan yang simple tanpa perlu memaksa diri memiliki pasangan.

"Kak, ayo turun. Kak Ava udah cantik banget!" Ucap Berlian berdiri dari duduknya di atas kasur, dia cantik memakai kebaya pastel.

Berlian memelukku cukup lama, akupun membalasnya. Rasanya malam ini aku bahagia banget, padahal siang tadi aku sempet bete sama Dhipa yang marah-marah nggak jelas dan bikin aku jadi merasa nggak enak hati dengan Valdo. Jadi inget Valdo yang mnis banget hari ini.

"Kak, kak Ava bahagia?" Tanya Berlian seraya mengurai pelukan kami.

Aku sempat mengerutkan dahi, lalu aku tersenyum lebar meyakinkan Berlian bahwa aku bahagia.

"Tentu aku bahagia, punya keluarga baru yang menyayangiku." Ucapku mantap walaupun sebenarnya ada ragu yang terselip. Karena aku yakin mereka menyayangiku kecuali Dhipa.

Tapi aku juga tak tahu apa alasanku menerima ini karena aku tak punya alasan untuk menolak meskipun aku tahu Dhipa tak menyayangiku. Kurasa aku bodoh!

Kami turun dan mendadak aku semakin gugup melihat orang-orang sudah berkumpul. Aku juga merasa ingin buang air kecil sekarang.

"Berlian."

"Iya kak?"

"Aku ke toilet dulu, pen pipis."

Berlian tertawa melihatku. "Grogi ya kak? Mau aku temenin?"

"Nggak usah aku sendiri aja. Rumahku nggak sebesar rumahmu yang bisa bikin aku nyasar." Jawabku seraya mengedipkan sebelah mata.

"Entahlah, kalau ini bisa disebut bahagia. Aku tetap mengidamkan wanita tinggi dan sexy."

Aku menghentikan langkahku, entahlah mataku terasa panas tak sengaja mendengar ucapan Dhipa dan tawa teman Dhipa yang mengiringi ucapannya. Aku tahu Dhipa memang tak manyukaiku, tapi mendengar dia seolah tak bahagia dengan semua ini dadaku mendadak sesak.

"Hei Va." Panggilan teman Braga sedikit mengagetkanku, sepertinya dia sadar ada aku di sini.

Aku mengambil nafas panjang dan tersenyum ke arahnya, semoga saja mataku yang terasa panas tak meninggalkan jejak merah di bola mataku.

"Hai."

"Aku Braga, sahabat sekaligus musuh Dhipa." Ucapnya dengan seringai ke arah Dhipa dan mengulurkan tangannya. Akupun meraih uluran tangannya.

Tak tahan dipandang Dhipa akupun langsung pamit ke toilet, aku tahu Dhipa masih menatapku tajam sampai punggunggu terasa dilaser.

"Ya Tuhan, ini nih yang aku nggak suka dari berhubungan dengan makhluk ciptaanMu yang berjenis laki-laki. Hanya bisa membuat wanita sakit hati. Tuhan, kuatkan aku." Ucapku menatap wajahku di cermin.

Setelah kurasa aku sudah membaik, akupun memilih keluar dan kembali ke tempat acara. Acara teramat ceria, ceria untuk keluarga bukan untukku ataupu Dhipa. Lihat saja ekspresinya yang dingin, bikin kesel. Aku masih terus berusaha senyum. Andai saja aku tak mendengar ucapannya tadi aku tak perlu berusaha untuk tersenyum karena moodku tadi sangat baik tak seperti sekarang.

"Masih mau makan siang dengan pria itu?"

Kulirik Dhipa yang bicara tapi tatapannya bukan ke arahku. Nyebelin banget, males aja aku jawab toh dia bukan lagi ngomong sama aku. Kalau dia bicara padaku harusnya dia melihatku.

In Fact, I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang