20 vs 30 #6

65K 2.7K 122
                                    

Pov Dhipa

"Nggak perlu alesan untuk seorang pria melamar wanita saat hatinya sudah yakin bisa membuat orang lain bahagia."

Mengingatnya saja sudah membuatku geli sendiri, tak percaya aku bisa berkata seperti itu. Entah bisikan malaikat mana yang membuatku bisa bicara sekeren dan semantap itu.

"Gila ya?"

Suara Ava menyadarkanku kalau di mobil ini aku nggak sendiri, aku lupa ada si toge di sampingku. Aku sedang mengantarkannya pulang ke apartemennya di daerah Casablanca. Memasuki kawasan Casablanca seperti masuk area kerajaan jaman Yunania, kawasan ini termasuk kawasan elit. Ruko-ruko di depan di desain seperti Yunani kuno. Tak terlalu ramai dan terlihat sangat elegan.

"Aku heran, kamu itu berkepribadian ganda yah?"

Kulirik Ava yang bicara terus dari tadi. "Aku lebih dari yang kamu tahu." Jawabku sekenanya

"Beuhhhh gayamu. Jadi beneran kamu mau ngelamar aku? Ini gila!" Ucapnya hiperaktif dengan tangan mengacak-acak rambut sebahunya.

Kamu itu yang seperti orang gila. Aku tak segila itu mau melamar bocah, apa kata dunia. Aku diam tak menanggapi pertanyaannya. Dalam otakku masih terus berputar rencanaku yang pastinya akan berjalan sukses dan aku tak akan menikahi wanita yang terlalu jauh umurnya dariku. Aku mau menikah dengan wanita yang selisihnya tak boleh lebih dari lima tahun. Bibirku kali ini naik keatas sebelah, rasanya nggak sabar menunggu saatnya tiba. Bertemu orang tuanya, meminta izin melamar Ava dan orang tuanya pasti menolakku karena orang tua jaman sekarang tak mungkin menikahkan anaknya yang masih terlalu muda. Untuk kali ini aku akan bahagia saat mendapat penolakan, aku udah siap.

"Ya halo?"

"Ayah di sini? Dengan mamih?"

Ava terlihat kaget dan melotot ke arahku, aku hanya menaikkan bahuku dan mematikan mesin mobil karena kami sudah sampai di parkiran apartemen Casablanca. Jadi orang tua bocah ini ada di sini, baguslah aku bisa menyelesaikan kekonyolan ini lebih cepat. Kubukakan pintu mobilnya, bukan aku sok romantis tapi biar dia cepat turun karena sedari tadi dia sibuk dengan telponnya tanpa ada niatan hengkang dari mobilku.

"Ya ini Ava sudah sampai mau naik. Ok yah." Ucapnya lalu menarik lengan bajuku.

"Ini gila, ayah sama mami di sini. Sebaiknya kamu cepat pulang, aku nggak mau mereka lihat kamu."

"Memangnya kenapa? Bagus kan jadi aku bisa bicara dengan beliau secepatnya." Ucapku dengan hati bersorak senang.

"Kamu gila hah? Awww..." Lagi-lagi dia memukul lenganku dan kesakitan sendiri, kuraih tangannya dan mengusapnya karena kasihan melihatnya kesakitan memgibas tangannya. Telapak tangannya memerah dan kini wajahnya tak lagi meringis kesakitan tapi jadi kaku.

"Udah tahu sakit masih aja mukul." Ucapku masih mengusap telapak tangannya lalu menariknya ke dalam apartemen.

"Kenapa diam?" Tanyaku saat di dalam lift. Ava kayak orang bego diem aja mandangi tangannya, bukannya udah nggak sakit. Berlebihan banget jadi perempuan.

"Hei, apartemenmu nomor berapa?" Tanyaku lagi seraya menampel pelan telapak tangannya yang sedari tadi dia pandangi.

"Hah? Oh ya, nomor 116."

"Ya udah ayo cepet, apa perlu aku gendong?"

"Nggak, nggak perlu. Eh ini beneran kamu mau ketemu ayah? Yakin?"

"Kamu yakin nggak?" Tanyaku balik. Bawel banget, tinggal diem aja semua akan beres pada waktunya.

"Nggak tahu, ini wow banget dan mustahil."

In Fact, I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang