20 vs 30 #4

68K 2.9K 96
                                    

Pov Dhipa

Seluruh badanku terasa kaku, melemaskan otot dan mematahkan kepala ke kanan ke kiri tak juga mengurangi rasa pegal dan lelah tubuhku ini. Hari ini terasa panjang dan melelahkan. Akupun harus mengalah tidur di sofa ruang kerja, kegilaan apa yang aku lakukan sampai harus mengalah dengan bocah itu. Mungkin otakku sudah konslet. Semoga ini hanya mimpi jadi saat aku bangun aku tak perlu menemui Opa dan membahas hal yang pastinya aku tak suka.

Bocah itu benar-benar menjengkelkan, apa aku setua itu sampai dia memanggilku om. Yang benar saja, aku bahkan terlihat tampan begini walau wajahku sudah kusut. Dari sudut manapun yang kulihat dari ponselku yang kupakai untuk bercermin aku terlihat tampan, dan tak terlihat tua seperti om-om tua berkepala botak, rambutku bahkan keren begini walau acak-acakan. Pasti bocah itu rabun. Sialan aku malah jadi memikirkan dia, lebih baik aku sekarang tidur dan berdoa semoga ini hanya mimpi buruk Tuhan.

***

Suara Opa menggema di telingaku, ya Tuhan mataku saja masih enggan membuka. Aku yakin aku baru saja tertidur kenapa harus ada suara Opa sih. Badanku juga sama saja rasanya tak bisa digerakkan.

"Dhipa bangun atau Opa.."

"Iya Opa, Dhipa bangun tapi bentar lagi. Lima menit saja." Gumamku masih memejamkan mata. Mataku benar-merah sulit kubuka, aku malas sekali untuk bangun.

Badanku seketika ditarik paksa, aku tahu ini kerjaan Opa. Matakupun terpaksa membuka walau teramat berat, kepalaku juga teramat pusing. Badanku seakan baru ditabrak truk tronton, sakitnya luar biasa. Aku terduduk di sofa masih setengah sadar. Cahaya matahari seketika menyilaukan mataku saat tirai jendela terbuka teramat lebar. Opa kembali duduk di hadapanku setelah membuka tirai laknat itu. Kepalaku masih terasa berat dan berkunang-kunang.

"Minum ini." Opa menyodorkan segelas jus strawberry.

Setelah meminum jus asam itu sampai tandas, pandanganku mulai normal, kepalaku juga terasa lebih ringan.

"Ini jam berapa Opa? Dhipa masih ingin tidur, kalau bisa sampai besok pagi lagi."

Sebuah jitakan mendarat di kepalaku, mataku melebar menatap Opa. Tampang memelasku tak berarti apa-apa di depannya.

"Opa nggak akanmenjodohkanmu lagi."

"Are you sure Opa? Ya Tuhan, alhamdulillah akhirnya doaku selama ini terkabul. Bisa bernafas lega, thanks Opa." Ucapku menggebu seraya memeluk Opaku tersayang.

Tak ada yang lebih melegakan dari ini, kalau tahu akan dapat berita sebagus ini aku tak akan segan untuk bangun subuh bahkan tak tidur sekalipun tak masalah. Opa masih memelukku mengusap-usap punggungku. I love you Opa!

"Opa tak akan menjodohkanmu lagi karena kamu sudah membawa calonmu dan Opa setuju bahkan sangat setuju."

Sontak aku melepaskan pelukanku di tubuh Opa, alisku bertaut mencerna ucapan Opa.

"Ya Opa setuju saja kalau kamu maunya dengan Ava, Opa suka dia."

"Oh No! Nggak Opa, bocah itu maksudku Ava teman Berlian? Dia teman Berlian bukan pacar apalagi calon istri Dhipa. Dhipa nggak suka! Ketemu dia sebentar saja sudah membuat kepalaku hampir meledak."

"Gila saja aku harus menikah dengan bocah bersuara toa itu, dia jauh dari kriteria wanita idamanku Opa. Oke dia memang manis, tapi tingginya saja hanya setinggi toge. Jalan dengannya sama seperti membawa anak. Aku tak mau dianggap pedofil."

"Kenapa Opa malah ketawa?" Tanyaku masih sebal karena sedari tadi aku bicara Opa hanya tertawa terpingkal-pingkal, memang apa yang lucu dari ucapanku. Selera humor Opa memang buruk

In Fact, I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang