Pov Dhipa
Kusibakkan poninya yang menutup sebagian wajahnya. Wajahnya imut, bulu matanya lentik, hidungnya mancung, bibirnya tipis, siapa yang menyangka dia sudah 25 tahun. Tingkahnya juga lucu, bayangkan saja. Dia sedang marah tapi bisa-bisanya dia tertidur memelukku tadi. Sekarang dia memang sudah tak memelukku karena kuubah posisi kepalanya jadi bantalan di pahaku. Aku jadi bisa mengamati wajahnya tanpa perlu melihat matanya yang melotot.
Aku nggak akan pernah bimbang lagi, aku nggak akan pernah ragu lagi saat ada orang lain masuk di hidupku. Kupastikan aku akan selalu yakin bahwa orang yang aku cinta dan aku inginkan menjadi teman seumur hidupku adalah dia.
"Ava, bangun." Kuusap-usap pipinya yang kenyal mencoba membangunkannya karena ini sudah jam sembilan malam dan dia belum makan, akupun juga. Perutku sudah protes sebenarnya dari tadi hanya saja aku nggak tega membangunkannya.
"Bangun, kamu nggak laper?"
"Hemmm..."
Matanya membuka menutup berkali-kali membuatku gemas setengah mati. Sempat-sempatnya dia menutup mata lagi dan mengubah posisinya menghadap perutku.
"Hei, bangun." Kutarik-tarik pipinya sampai dia membuka mata lagi dan sepertinya kaget karena langsung bangun membelalakkan matanya.
"Kok kamu masih di sini? Ini jam berapa?" Tanyanya dengan wajah bingung sendiri nggak jelas.
"Kamu lupa tadi tidur sandaran siapa hem?"
Dia malah mengerucutkan bibirnya dan menggaruk kepalanya lalu berdiri menggeliatkan badannya.
"Kamu mau makan apa? Jangan nggak makan, nanti pingsan lagi."
Dia sontak membalikkan badannya, sedikit membungkuk menatapku.
"Kok tahu aku pingsan?"
"Itu nggak penting, yang penting sekarang kamu mau makan apa? Jangan sampai pingsan lagi, apalagi kalau bosmu itu yang gendong kamu. Aku nggak rela."
Ava menaikkan bibir dan alisnya sebelah, menyentuhkan jari telunjuknya di keningku dan mengetuk-ngetukkan perlahan.
"Om, apa perlu kita ke dokter?"
"Buat apa, kamu sakit?"
Ava menggeleng cepat. "Bukan aku tapi kamu om."
Dasar toge, dia pikir aku sakit apa? Jangan bilang dia pikir aku gila, aku memang gila karena dia. Enak saja manggil aku om dari tadi. Kutarik saja tangannya sampai dia jatuh menubrukku. Kupeluk dia erat sampai tak bisa berkutik walaupun dia teriak-teriak minta dilepasin.
"Nggak akan aku lepas sampai bilang ampun dan janji nggak akan manggil om, panggil sayang."
"Hoekkk, nggak mau."
"Nggak mau ya nggak apa, aku sih seneng-seneng aja meluk kamu."
"Lepasin Dhipa, aku susah napas nih."
"Bodo." Ucapku enteng.
"Aku mati kamu batal nikah." Serunya yang langsung bikin aku angkat tangan kalah kalau ancamannya gitu.
Dia langsung ketawa ngakak dan menarik pipiku. Kalau gini nggak apalah kalah asal dia nggak nyuekin aku lagi. Sekarang dia menepuk-nepuk kedua pipiku.
"Makan yuk." Ajakku seraya memegang rambutnya yang bergelombang di ujung rambutnya.
"Tapi aku yang pilih."
"Ok my future wife." Ucapku seraya tersenyum lebar.
Dia langsung memutar bola matanya dan berlaga muntah. "Aku ganti baju dulu, tunggu bentar."
KAMU SEDANG MEMBACA
In Fact, I Love You
RomanceAku itu 25 tahun, jangan anggap aku remaja ingusan dong. Punya wajah baby face gini bukan dosa kan? Beraninya om itu menyeretku bahkan mengangkutku keluar club padahal aku sedang kumpul dengan orang-orang kantor dan berdansa dengan pria tampan nan...