BAB 22

1.1K 68 0
                                    


"Restoran kamu laris, bisa masak?," tanya Indah, mengukuti langkah Bima, sambil memasukkan tangan di saku jasnya. Sambil menikmati udara dingin kota Paris.

"Bisa sih, kalau cuma masak yang instan, misalnya mie instan, sphagetti atau masak air," ucap Bima sambil terkekeh, melirik Indah.

"Huh, masak air aku juga bisa kali,"

Bima menarik nafas, mengetatkan jas yang di kenakannya. Ia memandang mini market bertulisan open di dekat pintu, "Kamu mau enggak nyicipin masakan aku?,"

"Emang kamu bisa masak?,"

"Bisa sih, kalau yang simpel seperti sphagetti,"

"Wah hebat dong, padahal kamu laki-laki,"

"Bukannya kebanyakan chef di dominasi dengan laki-laki?,"

"Iya sih kamu bener. Tapi kenapa laki-laki?, padahal masak itu diidentik dengan wanita,"

"Mungkin wanita memasak untuk suami, anak dan anggota keluarganya aja. Sehingga tujuan utamanya untuk keluarga. Sedangkan laki-laki untuk alasan personal, profesi, untuk menjaga nama baik restoran atau hotel tempat dia bekerja,"

"Seorang laki-laki memiliki jiwa seni yang tinggi di banding wanita, mampu menyajikan makanan yang menarik dan classy. Setelah itu fisik juga mesti diperhitungkan karena biasa chef itu menyita waktu 16 jam sehari,"

"Owh gitu,"

Bima memandang lurus ke depan, ia melihat bertulisan open di mini market tidak jauh darinya. "Kita belanja di mini market di depan sana," Bima menunjuk salah satu mini market yang bertulisan Franprix.

Indah tersenyum, ia senanh akhirnya Bima memasakkan untuk dirinya, "Iya,"

"Boleh tau kamu mau masak apa?,"

"Sphagetti,"

Mini market ini seperti mini market pada umumnya, menjual bahan-bahan pokok dan kebutuhan sehari-hari. Ia memasukan tomat, daging giling, sphagetti, bawang bombay dan beberapa minuman. Ia melihat beberapa orang berbelanja tidak jauh darinya. Aktivitas warga Paris sepertinya sudah normal. Ia mengikuti langkah Bima menuju kasir, melakukan transaksi pembayaran.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di apartemen. Indah menyimpan bahan makanan itu di meja pantri. Ia lalu membuka jas dan ia letakkan di sofa, begitu juga dengan Bima.

"Kamu bisa masak?," tanya Bima kepada Indah.

"Enggak,"

"Ya, cewek kayak kamu mana mungkin bisa masak, pasti apa-apa semua di layani," ucap Bima.

"Habisnya setiap mau buat makanan sendiri, bi Narsih selalu larang aku, dia bisa senewen kalau tahu aku di dapur. Jadi seumur-umur megang sodet enggak pernah. Padahal aku pengen banget belajar masak,"

"Begitu ternyata,"

Bima menarii nafas, ia menatap Indah, "Kamu tau nggak?,"

"Apa?,"

"Posisi cewek yang bisa masak itu memiliki posisi istimewa di mata laki-laki,"

"Owh ya?,"

Bima tersenyum lalu mengeluarkan bahan-bahan makanan dari paperbag. "Iya, pada dasarnya, laki-laki seperti aku itu doyan makan, makanya aku harus memiliki wanita yang harus pandai masak,"

"Aku tahu enggak semua cewek terlahir diberi kemampuan meramu hidangan. Oleh sebab itu berlatihlah salah satu cara meracik makanan yang lezat. Nanti kamu akan menjadi istri idaman para laki-laki di luar sana," Bima memasukan air ke dalam panci, untuk merebus pasta.

CINTA TAK PERNAH SALAH (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang