BAB 37

1.7K 83 0
                                    


Hubungan dua insan, mampu menjadikan dua keluarga menjadi satu. Keluarga dengan latar berbeda suku, kultur dan budaya, di terapkan masing-masing keluarga, kini saling melengkapi. Tidak ada satupun yang membandingkan diantara keduanya. Itulah yang ia lihat dari keluarga Bima dan Mimin. Tidak ada yang saling menyalahkan pada kasus ini. Mereka saling menguatkan satu sama lain.

Masa kritis Mimin hanya berlangsung sepuluh jam saja, sekarang wanita itu sudah sadar dan sudah dipindahkan ke kamar perawatan. Ia bersyukur bahwa Jasmine telah pulih dan tidak ada kecacatan pada tubuh itu pasca koma. Bahkan dia hanya mengatakan bahwa seperti tertidur beberapa jam saja. Padahal kenyataanya ia berjuang sekuat tenaga menyelamatkan nyawa Mimin, bahkan dia sempat kejang beberapa saat sebelum dia sadar sepenuhnya.

Dimas menyandarkan punggungnya di kursi, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini. Ia juga tidak mungkin menggangu hubungan Bima dan Jasmine yang sudah sangat erat. Cincin permata itu sudah tersemat di jari manis Jasmine. Di sini ia tidak akan bersikap egois, hanya karena menginginkan Mimin. Ia yakin Tuhan punya rencana lain untuk, membuat hidupnya menjadi lebih Indah. Ia yakin jodoh itu tidak perlu dikejar, nanti dia datang dengan cara tersendiri.

Bima pemuda baik sama sakali bukan laki-laki kasar apalagi kriminal, terlihat jelas dia sangat mencintai Mimin, dia tenang, dan dia juga mapan, karena ternyata dia pengusaha muda yang memiliki outlet restoran cepat saji. Jika Mimin dengan pemuda itu, tentu saja hidup Jasmine akan terjamin. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain membiarkan Mimin bahagia dengan laki-laki pilihannya. Ia tidak bisa memaksa karena ini urusan hati. Jika ia membiarkan itu terjadi maka salah satu diantaranya menderita.

Jodoh itu bukan suatu yang gampang untuk ditemukan, dia datang dengan cara yang misterius. Tidak peduli berapa lama pacaran, tapi dia datang dengan cara tak terduga. Ah, entahlah dengan siapa jodohnya kelak. Dimas memandang ke arah paperbag berwarna putih, berisi sepuluh novel romance yang ia beli kemarin. Ia memang tidak lupa dengan janji akan membelikan novel untuk wanitanya. Ini sudah dua hari mereka tidak berhubungan, tak lagi suara tawa yang ia dengar. Entahlah bagaimana ia harus menjelaskannya, yang pasti ia akan bertemu dan berbicara cukup serius.

Janji tetaplah janji yanh harus ia telati. Janji itu sosok ilusi yang mudah terucap namun sangat sulit dilakukan. Janji itu seperti sebuah komitmen yang memiliki tanggung jawab yang cukup berat. Begitu juga dengan cinta, apabila sudah mengubar banyak janji sedang dalam menjalani hubungan, maka sulit dipercaya. Oleh sebab itu ia tidak akan mengubar janji kepada wanita manapun selain ia benar-benar sanggup menepatinya.

Dimas menarik nafas, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan menghadapi wanita muda ini. Dimas memandang ke arah layar ponsel, lalu mencari kontak Indah. Ia lebih baik mengirim pesan singkat saja dari pada menelfon.

"Aku ingin bertemu denganmu, ada yang ingin aku bicarakan,"

Dimas menekan tombol kirim, ia menunggu sang pemilik ponsel membalas pesan singkatnya. Sedetik kemudian notifikasi masuk. Ia menatap kearah layar ponsel, ternyata dari Indah.

"Kapan?,"

"Sekarang bisa?,"

"Di mana?,"

"Cafe Aroma,"

"Oke,"

Dimas melirik jam melingkar di tangan menunjukkan pukul, 18.30 menit. Ia membuka jas putih itu, ia menggantungkan jas itu hanger di dekat lemari. Ia memasukan ponsel di saku celana, tidak lupa membawa paperbag berisi novel. Ia melangkah keluar dari ruangan kerja, tidak lupa ia kunci. Dimas melangkahkan kakimya menuju parkiran , semenit kemudian mobil meninggalkan area rumah sakit.

***

Beberapa menit kemudian,

Dimas melihat ke arah cafe, sepertinya para pengunjung sedang ramai-ramainya. Biasa cafe ini begitu lengang, tapi sekarang malah sebaliknya. Cafe ini sudah sedang di booking oleh salah satu anak muda yang berulang tahun.

CINTA TAK PERNAH SALAH (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang