BAB 15

1.3K 71 0
                                    


"Gila, parah !, bisa-bisa nya gue ngomong kayak gitu sama Bima," ucap Indah, membuka jaket yang dikenakannya.

"Nekat, minta ajak nikah lagi !," ucap Indah lagi, lalu menggantung jaket itu di lemari.

"Iya, kalau Bima mau !,"

"Kalau enggak mau, kan malu !,"

"Taruh di mana nih muka !," gerutu Indah.

Ingin rasanya, ia membenturkan kepala, ia tidak tahu berbuat apa, setelah mengatakan itu. Sepanjang perjalan menuju apartemen, Bima mendiaminya. Lalu menutup pintu kamar tanpa mengucapkan selamat tidur.

Indah lalu duduk di sini tempar tidur, "Bima marah enggak ya ?,"

"Ya ampun, gimana dong !," Indah semakin gelisah, mondar mandir sambil bertolak pinggang.

"Gue yang nembak, gue juga yang enggak enak sama Bima,"

"Habisnya Bima sih, jadi cowok keren banget !,"

"Salah siapa, kalau gue demen sama dia?,"

"Ya emang enggak salah. Tapi caranya gue yang salah. Di mana-mana orang mau pacaran perlu PDKT. Lah ini tiba-tiba mau ngajak pacaran, minta ajak nikah lagi," timpal Indah kesal sendiri.

"Kok gue jadi cewek enggak ada jaim-jaimnya sih,"

"Enggak keren banget, gue jadi cewek,"

"Tau ah, pusing,"

Indah lalu membaringkan tubuhnya di sisi tempat tidur. Ia berharap besok amnesia, lupa akan kejadian tadi.

"Ya ampun, gue kok bego banget sih ngomong gitu. Kalau mau ngomong kayak gitu mestinya romantis-romantisan dulu. Jalan-jalan kemana kek gitu, lah ini baru nyampe Paris. Gimana enggak shock cowok di kamar sebelah,"

"Yaudah deh besok minta maaf,"

***

Mimin melangkahkan kakinya menuju pintu utama. Ia tidak tahu siapa yang bertamu sepagi ini. Mimin lalu membuka hendel pintu, ia memandang laki-laki berdiri diambang pintu. Laki-laki mengenakan celana adidas pendek dan baju kaos berwarna putih. Dia adalah Dimas,

"Dimas,"

Dimas tersenyum menatap Mimin, terlihat jelas wajah itu baru bangun tidur Rambut panjang sedikit berantakkan. Baju tidur berbahan satin berwarna hijau itu begitu menggoda menurutnya.

"Tumben bener lo ke sini, ada apa?," tanya Mimin memperlebar daun pintu.

"Tadi gue habis nge-gym, langsung ke sini mampir bentar," ucap Dimas, lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam.

"Owh gitu," ucap Mimin menutup pintu itu kembali.

Dimas mengedarkan pandangan kesegala penjuru ruangan. Tidak ada yang berubah apartemen ini. Susunannya juga masih terlihat sama, hanya gorden berwarna merah itu kini berubah menjadi hijau.

"Lo baru bangun," ucap Dimas, memperhatikan Mimin.

"Iya,"

"Udah jam berapa nih, baru bangun," ucap Dimas memperlihatkan jam yang melingkar di tangannya menunjukkan pukul 07.11 menit.

"Ya suka-suka gue lah, kantor juga punya gue sendiri," dengus Mimin, melangkahkan kakinya menuju dapur, ia menuang air mineral ke dalam gelas.

"Ada apaan sih lo ke sini, masih pagi juga," Mimin meneguk air mineral itu, sambil menatap Dimas.

"Ya mau liat lo lah, sekalian ngajak sarapan," Dimas berjalan mendekati Mimin yang masih berdiri di dekat meja pantri.

"Di liat mulu, enggak bosan apa," dengus Mimin, meletakkan gelas itu di meja.

"Kalau lo sih enggak," ucap Dimas semakin mendekati Mimin.

Mimin menelan ludah, ketika Dimas sudah di hadapannya. Ia dapat melihat secara jelas rahang tegas itu. Ia tidak tahu apa yang di pikirkan laki-laki sehingga mengurungnya seperti ini.

"Min,"

"Hemmm,"

"Jalan-jalan yuk," ucap Dimas,

"Jalan kemana?,"

"Ke Bogor,"

"Enggak ah," Mimin mencoba meloloskan diri dari hadapan Dimas, tapi tangan itu menahannya. Mimin mulai jengah dengan sikap Dimas yang seperti ini.

"Kenapa?," tapi Dimas mencegah Mimin menjauh darinya.

"Bogor itu dingin, sepi, takutnya lo apa-apain gue lagi, yang ada nanti di ajak turun ranjang. Bahaya tau sama lo,"

Dimas yang mendengar itu lalu tertawa, "Ya enggak apa-apa lah, kan sama gue,"

"Ih, itu sih mau lo,"

"Gue iri sama Radit, dapat istri cantik masih muda lagi,"

"Makanya lo cari aja yang jauh lebih muda, perawat perawat di rumah sakit kan banyak tuh, cantik-cantik lagi. Pasti demen model lo kayak gini,"

Dimas memicingkan matanya menatap Mimin, "Emang lo enggak mau sama gue,"

Mimin mengibaskan rambutnya, menatap wajah tampan itu, "Gue lagi dekat sama seseorang Dim," Mimin pada akhirnya, inilah kenapa ia berusaha menjaga jarak antara dirinya dan Dimas.

Dimas yang mendengar itu lalu terdiam. Ia tidak menyangka bahwa Mimin lagi dekat dengan seseorang, ada terbesit tidak suka mendengar itu,

"Siapa?,"

"Bima, temennya temen gue sih. Sejauh ini hubungan gue sama dia berjalan dengan lancar. Tapi belum pacaran juga sih, baru PDKT," ucap Mimin mencoba menjelaskan. Ia melihat tangan Dimas tidak lagi mengurungnya, sepertinya Dimas kecewa mendengar penjelasan itu.

"Belum pacaran juga, status lo masih free,"

"Ya tapi kan udah dekat,"

"Status hubungan kita juga dekat, sama aja kan," ucap Dimas.

"Ya tapi beda Dim ...,"

"Dekat belum tentu dia jodoh lo," ucap Dimas, menyentuh wajah Mimin.

"Emangnya lo pikir, laki-laki yang datang mendekat, ia lalu suka dan cinta sama lo?,"

"Ada yang datang karena dia mau berteman, ada juga karena lo asyik," ucap Dimas lagi.

"Gue tau bahwa cinta tak pernah salah. Dengan siapa lo ingin memulai dengan siapa lo berakhir,"

Mimin menelan ludah mendengar pernyataan Dimas. Dimas dan Bima jelas berbeda, ia hanya menganggap Dimas hanya teman tidak lebih. Bahkan laki-laki itu jauh hingga ke Singapore, ia tidak berniat mencari tahu kabar laki-laki itu. Sedangkan Bima jelas berbeda, dari awal bertemu, Bima sudah membuat hatinya bergetar. Ia nekat mengatakan bahwa ia menyukai laki-laki itu secara terang-terangan. Ia suka Bima dengan segala kehangatannya.

Dimas dia itu laki-laki cerdas, bahkan sangat cerdas menurutnya. Apalagi profesi dia sebegai dokter sepesialis bedah jantung. Wajahnya tampan, tubuhnya oke, dan berasal dari keluarga terpandang. Tapi sifat egois Dimas, ia tidak terlalu menyukainya. Pokoknya berbeda sekali dengan Bima. Secara tidak langsung Dimas mengatakan bahwa Bima itu bukan jodohnya. Tau apa dia tentang Bima, sehingga bisa berkata seperti itu.

"Bisa jadi yang dekat, lalu hilang mendadak. Jangan terlena dengan kata-katanya, itu hanyalah sebuah teman lebih dari teman,"

"Lebih baik cari yang pasti-pasti saja, agar tidak terlalu terluka,"

"Dimas ...,"

Dimas menarik nafas, ia lalu tersenyum, "Cari bubur ayam yuk," ucap Dimas mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Mimin menggigit bibir bawah, tidak tahu berbuat apa, ia bahkan tidak sempat membantah ucapan Dimas,

"Gue belum mandi juga," ucap Mimin kikuk.

"Mandi dulu sana, gue tunggu,"

"Oke,"

Mimin lalu melangkahkan kakinya menuju kamar, sekali lagi ia menoleh ke belakang menatap Dimas yang memilih duduk di sofa. Laki-laki itu ternyata sedang menghidupkan tv. Ah entahlah, kenapa Dimas membuat semuanya menjadi runyam.

***

CINTA TAK PERNAH SALAH (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang