BAB II

9.1K 449 4
                                    

Aku mengerjab pelan kupandang tempat sekelilingku semua putih. lalu menatap kearah lain terlintas senyum menawan ibu Mertuaku.

"Bu...." panggilku lirih

"Najwa, Alhamdulillah kamu sudah sadar." ibu membelai rambutku pelan.

"Bu, perut Najwa kok nyeri banget, kandungan Najwa gapapa kan Bu?." ucapku seraya mengelus perutku.

"Eh! mas Fahri mana Bu ?  dia gak papa kan Bu??"

Tanyaku mencemaskannya, terakhir kulihat darah begitu banyak mengalir dari kepalanya.

"Emm Fahri ...." Ibu nampak ragu-ragu menjawab pertanyaanku.

"Mas Fahri kenapa bu?,  aku mau melihat mas Fahri Bu ,Najwa khawatir."

" Kamu yang sabar ya, nduk. suamimu tak tertolong, Fahri meninggal di perjalanan menuju ke sini, dan soal perutmu yang sakit janinmu tak tertolong, benturan saat kau jatuh membuat kamu keguguran." Ibu mengatakannya dengan wajah penuh kesedihan.

"A-apa Bu, mas ... mas Fahri meninggal dan janinku." aku mulai menangis, memaksa bangkit dari tidurku tapi,ahh perutku sakit sekali.

"Nduk, kamu jangan banyak gerak dulu." Ibu mencegah ku

" Najwa mau lihat mas Fahri, bu. Ibu pasti bohong kan mas Fahri pasti gak ninggalin aku." aku ngotot untuk bangkit tapi justru perutku makin sakit.

"Najwa !!.. ibu mohon jangan seperti ini. Ikhlaskan kepergian suamimu, jenazahnya sudah dikubur tadi pagi." Ibu memeluk diriku yang telah berurai air mata.

"Bu, antar Najwa ke Makam mas Fahri bu Najwa mohon" ucapku lirih.

" Iya nduk pasti ibu antar tapi kamu harus kuat. yang ikhlas jangan menghalangi jalan kematian suamimu dengan air matamu." ucapan ibu yang ku balas hanya dengan anggukan.

***

Ku lihat pusara yang tanahnya masih basah, taburan bunga mawar penuh  diatasnya. Terpampang nisan bertuliskan Muhammad Fahri bin Luthfi mubarok.

"Mas Fahri." lirih kusebut namanya, ku baca tahlil untuknya.
Ku panjatkan doa semoga di ampuni segala dosanya.

"Pergi dengan tenang Mas, aku baik-baik saja disini. Akan ku jaga cinta kita."

Pupus sudah!

Berakhir semua kisah cintaku dan Mas Fahri. Sampai disini jodoh kita.

****
Langkahku terhenti di depan rumah. Kembali ku pandangi rumah kami. Di teras itu ....

"Ku akan menyayangimu sampai waktu memanggilku, selalu menjagamu janjiku pada Tuhanku...." suaranya merdu saat bernyanyi. Dengan menirukan gaya penyanyi aslinya. Lalu dia tertawa merasa lucu dengan suaranya sendiri.

"Gak bakat Mas kalau gombal. Itukan lagu , gak kreatif." Ejekku. Yang tengah menyapu halaman.

"La wong, emang gak suka gombal. Tapi beneran ini."

Aku meletakkan sapu disisi kursi. Lalu duduk bersamanya.

"Emang Mas Fahri mau sayang sama aku selamanya?"

"Lebih dari selamanya."

"Ah, nek ini gombale kepolen."

"Enggaklah ini serius."
Iya tersenyum.

"Ah, masa?"

"Iya, besok kita akan menua bersama. Sampai punya empat anak. Trus cucu yang banyak. Berlarian menyebutmu nenek." Dia tertawa, matanya berbinar seakan sedang melihat apa yang dia ucapkan.

"Mbah Kakung Fahri." aku terkekeh, membayangkan wajah kami berdua kelak.

"Mbah Uti Najwa ahaahah." Tawanya makin lebar. Takkan paham , seorang yang begitu pemalu diluar sana, irit bicara. Tapi, dia bisa banyak bicara kalau di rumah. Apalagi saat menggodaku dengan candaan yang garing.

Lihatlah! Ini benar terjadi. Dia menepati janji. Selalu bersamaku dan hanya maut yang memisahkan.
Dan sekarang itu hanya terbungkus sebagai kenangan masa lalu.

     Aku menangis mengingat semua kejadian itu sungguh begitu menyayat hati. Aku harus kehilangan suami dan calon anakku bersamaan.

Aku sendiri!

Kulangkahkan kakiku meninggalkah Rumah itu , untuk pulang di antar ibu mertua dan kakak ipar ku mas Fahmi.

Selamat tinggal Mas.
Selamat tinggal kenangan.
Aku akan hidup bersama kenangan yang tersisa ....

Bersambung...

Bukan Yang Pertama (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang