tiga hari beranjak setelah rapat di ruang sekretariat osis, kini aku resmi menjadi panitia acara tujuh belasan yang memang tiap tahun diadakan di sekolah. namun baru tahun ini kepala sekolah mengijinkan untuk diadakan pensi, maka dari itu hampir seluruh murid antusias menyambut kegiatan ini.
divisi konsumsi sendiri terdiri dari empat anggota dan satu ketua divisi yang diambil dari anggota osis.
lalu dari lima orang itu, dibagi lagi menjadi dua orang yang mengurus daftar rekomendasi makanan dan minuman, dua orang mengurus pembuatan proposal divisi, dan satu orang (yaitu ketua divisi) akan mengoreksi jika ada kesalahan dan menjadi jembatan untuk urusan surat menyurat dengan panitia inti. cukup adil.
aku berniat untuk mengambil bagian proposal, bersama windi (meskipun tidak terlalu kenal, setidaknya aku bersama teman cewek), namun semua berubah ketika lagi-lagi calvin dengan seenaknya memilihku menjadi rekan kerjanya.
"gue bagian proposal aja, sama dia." ucap calvin lalu menunjukku.
"oke!" tanpa mendengarkan penjelasanku lebih dulu, sang ketua divisi langsung saja mengiyakan. bisa jadi karena ia takut ditatap calvin seperti hendak diterkam seperti itu.
seperti yang diketahui, sebetulnya aku teramat senang jika diberi kesempatan lebih banyak bersama calvin. apalagi dia sendiri yang memilihku. namun, aku takut jika semakin tidak bisa menyembunyikan perasaanku dan membuat calvin justru menjauhiku.
membayangkan hanya duduk berdua dengan calvin sambil memandang layar komputer saja sudah membuatku sulit bernapas.
belum lagi jika ia sering mengajakku bicara sehingga aku harus menatap kedua matanya.
aku masih terlalu dini untuk mati.
dengan langkah sedikit gemetar, aku memasuki rumah besar milik calvin antares.
tunggu, jangan terkejut dulu.
karena memang setelah perdebatan cukup panjang di mana aku lebih menginginkan untuk mengerjakan proposal di kafe atau perpustakaan sekolah saja, calvin justru bersikeras untuk mengerjakannya di rumah.
yang namanya bucin, jelas aku mengalah.
"lo masuk rumah gue udah kayak mau masuk penjara aja. tegang amat." ledek calvin. "kan dulu juga udah pernah."
ya, tapi kan itu beda, calvin antares.
"hah? kagak." elakku.
"ya udah, lo duduk dulu. gue ke atas bentar." calvin mempersilahkanku duduk di salah satu sofa ruang keluarga.
dengan malu-malu, aku pun duduk di sofa yang ternyata nyaman bukan main. tidak seperti sofa di rumahku. memang sultan tuh beda ya.
terlalu asyik memandangi sekeliling ruangan, sampai-sampai aku tidak sadar jika calvin sudah berdiri di depanku.
ternyata ia sudah mengganti atasan seragamnya dengan kaos polos hitam yang membuat aku bersumpah, calvin beribu-ribu kali lipat jauh lebih tampan dari biasanya. it suits him very damn well. belum lagi rambutnya yang mencuat sedikit tidak rapi, dibiarkan dengan sengaja.
aku mau telepon ambulans.
"nih,"
aku hanya menatap heran ketika calvin menyodorkanku sebuah handuk rapi dan wangi. sepertinya baru diambil dari lemari. "buat apaan? gue gak mau mandi?"
"lo polos juga ya jadi cewek." calvin mendengus kesal. "lo tuh pake rok, kalo duduk pasti agak ke angkat. di rumah gue sepi, kalo gue khilaf dan lo gue apa-apain, mau?"
aku masih berusaha mencerna kalimatnya.
setelah beberapa detik dan tersadar, aku lantas berdiri dan menatapnya ngeri. meski segila-gilanya aku pada calvin, namun aku masih cukup sadar batasan dan mengerti harga diri. "g-gue pulang aja ya...."
"maaf, gue nggak maksud nakutin lo. gue nggak ada niat apa-apa, sumpah!" ia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah bersamaan.
"di rumah lo beneran nggak ada orang?" tanyaku memastikan.
"ada mbak kok, lagian di depan juga ada satpam."
tidak lama setelah itu, munculah seorang perempuan yang seingatku adalah asisten rumah tangga calvin yang ku lihat waktu itu.
"mas ic-calvin, ini minumnya." tatapannya terlihat ragu untuk melihat calvin, seakan telah membuat kesalahan.
"nggak papa, mbak, dia udah tau kok." sahut calvin santai. "jangan lupa masak."
si mbak awalnya terlihat terkejut, namun kemudian tersenyum dan kembali menyebut nama rumah calvin. "siap mas ical!"
beberapa detik terlihat sedang berpikir, lalu si mbak kembali bertanya, seakan teringat sesuatu. "oh, jangan-jangan ini yang waktu itu nganter hapenya mas ical ya?"
aku pun mengangguk.
"ih, kemaren tuh dicariin ibu. tapi kata mas ical mbak udah pulang aja." adu si mbak yang membuatku menatapnya heran.
"kenapa mbak?"
"kata ibu, mas ical nggak boleh berantem sama pacarnya!"
seketika wajahku terasa panas. kedua pipiku seakan mendidih. namun anehnya, di perutku rasanya geli, seperti ada ribuan kupu-kupu yang menggelitik.
"MBAAAAAAAK!!" protes calvin langsung dengan nada tinggi dan menyuruh agar si mbak cepat-cepat pergi agar tidak mengatakan hal yang lebih jauh lagi.
aku melirik calvin, yang ternyata wajahnya juga memerah. setelah itu aku dan dia sama-sama diam. kemudian cowok itu berusaha memalingkan muka dengan membelakangiku dan pura-pura menonton televisi.
tidak apa-apa, calvin. menatap punggung lebarmu saja sudah cukup membuat jantungku berdebar tak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
platonic; changbin
Fanfiction(n.) ideal. tentang bagaimana aku menyimpan rapat-rapat perasaanku terhadap calvin antares, tanpa ada orang yang tahu, termasuk dirinya sendiri. beberapa nama diambil dari @sklokal di twitter