Namanya Mikaila, dia adalah gadis paling cantik yang pernah aku lihat, iris matanya berwarna hijau, bibirnya berwarna pink, hidungnya mancung, alisnya indah ditambah rambut pirangnya, dia sempurna. Aku tidak pernah secara langsung berkenalan apalagi berbicara dengannya, tapi yang kutahu dia adalah gadis yang baik dan ramah. Suaranya lembut menyenangkan, setiap telinga yang mendengarnya mungkin tidak akan pernah ada yang merasa bosan saat berbicara dengan Mika.
"Lo lagi liatin apa sih Le?" tanya Farren mengagetkanku.
"Nggak ada," jawabku kemudian kembali memakan mie ayam pesananku.
"Bohong ya lo? Liatin Mikaila kan dari tadi?"
Aku langsung menatap Farren yang sekarang sedang tersenyum miring kepadaku. "Ngaco."
"Lo harus inget satu hal Le bahwa lo nggak bisa bohongin gue," katanya terdengar bangga.
Aku menghela nafas. "Dan Ren, lo pasti tau porsi lo buat nggak ikut campur kan?" kataku sambil menatapnya.
Dia mengangguk. "Of course babe, dan lo tau kemana harus cerita saat lo udah siap buat cerita." katanya membuatku merasa tenang, setidaknya aku selalu punya Farren yang siap menjadi tempatku untuk berbagi banyak hal.
"Ke kelas yuk, gue belum ngerjain tugas dari Bu Raline." ajaknya sambil tersenyum lebar.
"Kebiasaan lo astaga, lo nggak kapok dihukum sama Bu Raline?" geramku.
Dia terkekeh. "Ya gimana Le, lo kan tau kalo gue nggak bisa kimia," katanya sambil bergelayut manja di lenganku.
"Matematikanya mantep, biologinya bagus, fisikanya oke, tapi giliran kimia kok bodoh ya?" ejekku.
"Kan setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Gue kan Farrenia Miller yang biasa aja bukan Eleanor Varischa Sachar yang maha sempurna." katanya membela diri.
"Maha sempurna bapakmu!" kesalku karena Farren selalu punya 1001 pembelaan saat aku mengejeknya.
"Kalo bapak gue maha sempurna namanya jadi Maxim Arkaiza Sachar dong," goda Farren yang ku balas dengan tatapan tajam.
"Ini nih tangan jangan kayak gini, geli tau nggak." ketusku.
"Ih galaknya Lea aku..." kata Farren semakin menjadi menggodaku.
"Aku punya wewenang khusus loh Ren buat rekomendasiin murid yang aku anggap nggak layak buat sekolah disini biar di drop out," kataku sambil tersenyum manis kepada Farren.
"Tapi kita kan best friend Le, lo nggak bakalan tega ngelakuin itu kan?" ujarnya yakin.
Aku mengangguk. "Kita emang best friend, tapi kalo kamu ngeselin gini ya terpaksa Ren, sorry..." kataku dengan nada mengancam.
Wajah Farren memucat dan langsung melepaskan tangannya dari lenganku. Dia menatapku tidak percaya sedangkan aku yang sejak tadi hanya bercanda sekarang sedang bersusah payah menahan tawaku melihat ekspresinya.
"Kok tega sih?" tanyanya memelas.
"Just kidding Ren," jawabku kemudian tertawa.
Dia menatapku sebal. "Nggak lucu Le bercandanya, please ya Sachar High School itu sekolah impian banyak orang. Masuk ke sini aja ketat banget, nggak bisa tuh sekedar pake embel-embel kaya raya ataupun kenal yang punya. Kalo anaknya emang dirasa nggak layak buat sekolah disini mau dia anak menteri kek, duta besar kek, bahkan presiden ataupun raja sekalipun juga nggak bakalan masuk." katanya membuatku terkekeh.
"Itu lo tau, gue aja yang ibaratnya yang punya sekolahan kalo dianggap nggak layak juga nggak bisa sekolah disini. Itu karena grandpa nggak setuju sama aturan kolot yang cuma seputar harta, tahta, dunia. Beliau pengen bahwa sekolah yang dirintisnya itu bakalan menciptakan manusia-manusia yang berbeda, yang nggak egois seputar duniawi aja." kataku bangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mikaila. [gxg]
Teen FictionKlise, perjodohan antara dua orang atas campur tangan kedua orangtua mereka. Tapi yang membuat kisah ini berbeda adalah perjodohan itu antara perempuan dan perempuan. Bagaimana bisa? WARNING GXG!!!