"Kamu kenapa dari kemarin murung terus?" tanya Mikaila saat kami sedang makan di kantin.
"Nggak apa-apa kok, ini kenapa makanan kamu nggak dimakan?" tanyaku saat melihat dia hanya mengacak-acak makanannya.
"Aku nggak nafsu makan, oh iya nanti kamu nginep di rumah ya? Mama sama papa ada kerjaan di luar kota soalnya,"
"Oke nanti langsung pulang ke rumah kamu aja,"
"Ekhm dilarang pacaran di depan jomblo." kata Sheryl membuat kami terkekeh.
"Makanya cari pacar sana," balas Gabby.
"Duh mbaknya nggak punya kaca apa gimana? Situ kan juga jomblo!" seru Sheryl tidak mau kalah.
"E—eh gue nggak jomblo ya, single." kata Gabby membela diri.
"Ssttt udah, sesama jomblo jangan saling mengejek, terima nasib aja udah." celetuk Farren bermaksud menengahi tapi malah mendapatkan tatapan tajam dari Gabby dan juga Sheryl.
"Apa?" tanya Farren karena merasa diperhatikan.
"Mentang-mentang udah sama Jessie ya, dulu aja nolak dia mentah-mentah haha..." jawab Gabby.
"Ya, ya itu kan dulu. Udah sih kalian makanannya abisin, bentar lagi bel masuk." balas Farren mencoba mengalihkan pembicaraan.
Aku hanya diam memperhatikan interaksi mereka sambil memikirkan bagaimana cara paling aman untuk mengatakan kepada Mikaila bahwa aku harus berkuliah di Jerman setelah lulus nanti. Memang masih ada cukup banyak waktu untuk berpikir atau bahkan mengubah keputusanku ini, tapi jika menyangkut hubunganku dengan Mikaila aku harus memikirkannya baik-baik dan mengambil keputusan yang terbaik untuk kami berdua.
"Yang udah bel tuh kamu ngelamunin apa sih?" tanya Mikaila membuatku sedikit terkejut.
"Hah udah bel masuk?" tanyaku kemudian melihat ke sekitar dan benar saja kantin sudah sepi bahkan Farren serta teman-teman Mikaila sudah menghilang.
"Iya, kamu mikirin apa sih?" tanyanya lagi.
"Nggak ada, ya udah ayo aku antar kamu ke kelas." ajakku tapi dibalas gelengan olehnya.
"Nggak usah nanti kamu terlambat masuk kelasnya, aku sendirian aja nggak apa-apa kok—nggak bakalan diculik om om." katanya kemudian tersenyum.
"Oke, ya udah ayo kita bareng sampai di koridor sana," kataku sambil menunjuk ujung koridor yang memisahkan antara gedung IPA dan gedung IPS.
Dia tersenyum kemudian menggandeng tanganku. "Ayo," ajaknya.
Kami berdua berjalan berdampingan kemudian di ujung koridor kami berpisah. Dia langsung berjalan ke lorong IPS sementara aku diam-diam memperhatikannya dari kejauhan. Seorang anak laki-laki terlihat menyapanya dan mengatakan sesuatu kepada Mikaila. Kemudian berakhir dengan mereka berdua berjalan bersama. Hal itu sedikit membuatku merasa panas karena ada seorang laki-laki yang tidak ku kenal tiba-tiba menyapa Mikailaku. Baiklah ini berlebihan, tapi kadang rasa cemburu memang setidak tahu diri itu.
Dengan perasaan kesal aku berjalan menuju kelas karena bel masuk sudah berbunyi dari tadi. Sial, sepertinya aku terlambat masuk kelasnya Pak Edwin si guru killer itu.
Pintu kelas sudah ditutup dan itu berarti Pak Edwin sudah berada di dalam kelas. Untuk pertama kalinya seorang Eleanor terlambat masuk kelas kemudian akan mendapatkan hukuman—dihukum oleh guru killer pula. Astaga Lea nasibmu buruk pagi ini.
Aku mengetuk pintu kemudian membukanya, aktivitas pembelajaran di dalam kelas langsung terhenti dan menjadikan aku sebagai pusat perhatian mereka.
"Maaf pak saya terlambat, tadi ada sedikit urusan di kantor kepala sekolah," bohongku.
![](https://img.wattpad.com/cover/199395804-288-k509609.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mikaila. [gxg]
Teen FictionKlise, perjodohan antara dua orang atas campur tangan kedua orangtua mereka. Tapi yang membuat kisah ini berbeda adalah perjodohan itu antara perempuan dan perempuan. Bagaimana bisa? WARNING GXG!!!