Pagi ini aku menjemput Mikaila di rumahnya, sekarang aku sedang duduk di ruang tamu ditemani oleh Om Steve yang belum berangkat kerja. Aku sudah hafal kebiasaannya di pagi hari, dia pasti susah dibangungkan sehingga aku harus menunggunya dulu seperti ini.
"Dulu waktu Mika tinggal di rumah kamu dia bangunnya siang?" tanya Om Steve.
Aku mengangguk. "Iya om," jawabku.
Om Steve tersenyum. "Ya begitulah Mika, dia emang belum mandiri dan susah dibangunkan. Kamu yang sabar ya nanti menghadapi dia," katanya.
Aku tersenyum. "Nggak apa-apa om dan aku pasti sabar kok,"
"Nanti malam jadi?" tanya Om Steve membuatku menegang seketika.
"Jadi om, tapi emang ini nggak terlalu cepat ya om?" tanyaku sedikit ragu.
"Saya terserah kamu aja, kalo kamu yakin lakukan tapi kalo kamu tidak yakin, jangan dulu. Pikirkan baik-baik saja, kami semua tidak akan memaksa karena kalian berdua yang akan menjalaninya,"
"Kalian lagi ngomongin apa?" tanya Mikaila yang tiba-tiba saja sudah berada di ruang tamu.
"Nggak ada, kita cuma lagi ngomongin kamu yang susah dibangunin kalo pagi." jawabku sedikit terbata.
"Oh," jawabnya cuek kemudian meninggalkan kami. Astaga, Mikaila pasti masih marah karena kejadian semalam.
"Om aku pamit ya." kataku lalu menyalami Om Steve dan segera menyusul Mikaila.
Aku tersenyum canggung kepada Mikaila yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam mobil. Dia hanya diam dan langsung memalingkan wajahnya menatap ke luar jendela. Aku tersenyum tipis melihat hal itu dan segera melajukan mobilku menuju sekolah. Tidak ada pembicaraan selama perjalanan karena sudah pasti dia masih marah padaku. Setelah sampai di sekolah aku memarkirkan mobil di tempat biasa. Mikaila masih diam saja bahkan tidak segera turun dari mobil seperti biasanya membuatku sedikit heran.
"Udah sampai," kataku, dia masih tidak menjawab.
"Mika, kamu nggak tidur kan?" tanyaku sambil menyentuh bahunya.
"Hm." gumamnya kemudian menatapku.
Aku menelan ludah dengan susah payah, tatapannya datar tapi seolah menusukku. Aku jadi merasa terintimidasi sendiri sekarang, sial.
"K-kenapa?"
"Masih tanya kenapa?" dia balik bertanya membuatku menciut. Mode galaknya mulai.
"Tadi malem ak--"
"Main game di rumah sampai lupa waktu? Omong kosong. Kalo kamu emang di rumah pasti Tante Karina nggak akan nanyain kamu sama aku." katanya memotong alibi yang hendak ku ucapkan.
Aku menahan nafasku sepersekian detik kemudian menarik sudut bibirku dan tersenyum kepadanya. Baiklah siapapun selamatkan aku sekarang dari keadaan ini, tolong.
"Jujur sama aku, semalem kamu ada dimana?"
"Aku--"
"Jujur Lea!" serunya mengingatkanku lagi.
Aku menghela nafas. "Tapi kamu jangan marah ya?" bujukku.
"Tergantung jawaban kamu." jawabnya datar sambil terus menatapku.
Oke, lain kali tolong ingatkan aku untuk tidak mengikuti ajakan sesat dari Farren karena akan berakhir menyusahkan diriku sendiri. God help me.
"Aku semalem nemenin Farren minum terus nginep di tempat dia." kataku dengan cepat sambil menutup mata, takut.
"Hah, apa kamu bilang tadi? Kamu minum?" tanyanya dengan nada marah.
"Nggak sayang, bukan aku yang minum tapi Farren." jawabku dengan lancar, kan aku memang tidak ikut minum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mikaila. [gxg]
Roman pour AdolescentsKlise, perjodohan antara dua orang atas campur tangan kedua orangtua mereka. Tapi yang membuat kisah ini berbeda adalah perjodohan itu antara perempuan dan perempuan. Bagaimana bisa? WARNING GXG!!!