17. Baik-an

6.6K 634 146
                                    

"Lo nggak bosen apa belajar mulu?" tanya Farren.

"Nggak,"

"Tapi gue bosen Le, gue pengen jalan sama Jessie atau ngapain kek. Bisa meledak otak gue kalo lo ngajaknya belajar terus," protesnya membuatku memutar bola mataku malas.

"Lebay amat sampai meledak tuh otak." sarkasku.

"Gimana nggak lebay, udah seminggu ini, bahkan di hari minggu nih ya lo ngajakin gue mojok di apartment cuma buat belajar belajar dan belajar. Lo nggak mau ngertiin kapasitas otak kita yang beda jauh, gue masih butuh piknik buat nyegerin otak yang udah mulai lelah ini," katanya dengan nada memelas.

Aku menghela nafas mendengar hal itu. Memang semenjak kejadian di kantin aku memilih menyibukan diri dengan pelajaran atau tugas yang grandpa berikan. Dan sudah seminggu ini aku memaksa Farren untuk menemaniku belajar. Anggaplah aku teman yang jahat karena aku bahkan tidak membiarkannya pergi bersama Jessie, tapi apa boleh buat, jika aku membiarkan Farren pergi bersama Jessie pasti saat kembali dia akan terus menceramahiku tentang Mikaila.

Bukan sekali dua kali hal itu terjadi, tapi setiap kali aku terlibat perselisihan dengan Mikaila kemudian aku membiarkan Farren bebas berkeliaran kesana kemari pasti dia akan berakhir mendatangiku untuk memberiku nasehat-nasehat menyebalkan yang semuanya terkesan memojokan serta menyalahkanku. Padahal jika berkaca pada kejadian terakhir, itu salah Mikaila kan?

"Lo mau sampai kapan diemin Mika?" tanyanya tiba-tiba membuat aku langsung menghentikan kegiatan belajarku.

"Kenapa tiba-tiba ngomongin Mika?" tanyaku sedikit tidak suka.

"Le, gue lama-lama jengah sendiri sama sikap lo ke dia tau nggak? Iya gue tau Mika salah karena udah bohongin lo, dia juga salah karena udah kasih harapan buat Nathan yang akhirnya buat si Nathan itu terus ngejar Mika sampai sekarang. Tapi lo sadar nggak sih—sikap lo yang begini nggak akan nyelesaiin masalah diantara kalian. Mungkin di depan orangtua kalian, lo bisa bersikap seolah kalian baik-baik aja. But, apa kalian mau gitu terus? Lo nggak takut lama-lama Mika goyah karena Nathan terus nempel sama dia sedangkan lo malah jaga jarak dan terkesan nggak peduli sama dia. Gue ngomong gini karena lo temen gue dan gue pengen liat temen gue bahagia, dan bahagia lo ada di Mika." jawabnya panjang lebar membuatku langsung terdiam mencerna semua yang dia katakan.

Pena yang tadinya ku gunakan untuk menulis sekarang tergeletak di meja dengan sendirinya. Tiba-tiba hatiku nyeri saat membayangkan bahwa Nathan berhasil menggoyahkan Mikaila dan merebutnya dariku. Bukan hanya hatiku yang patah tapi hidupku juga pasti akan berantakan tanpa dia.

"Gue tau kalo lo cinta sama Mika, cinta banget malah. Jadi gue mohon sebagai sahabat lo, jangan sampai lo nyesel nantinya setelah semua ini terlambat dan lo kehilangan segalanya." lanjut Farren membuatku langsung menatapnya.

"Terus gue harus apa? Ini, hubungan kami itu udah—rumit. Gue kesusahan memulai atau bersikap seperti biasanya," balasku dengan kepala tertunduk.

"Singkirin gengsi lo. Susah memulai atau bersikap seperti biasanya itu karena gengsi lo terlalu tinggi, jangan biarin ego lo menang." katanya membuatku langsung menghela nafas. Gengsiku memang tinggi, bahkan terlalu tinggi untuk sekedar lebih dulu menyapanya. Aku masih rutin mengantar jemputnya, tapi hanya menjemputnya dari rumah kemudian mengantarnya pulang dari sekolah. Selebihnya aku hanya diam, jarang ada—bahkan bisa dikatakan tidak ada obrolan diantara kami berdua.

"Gue bingung," jawabku pada akhirnya karena aku memang bingung harus bagaimana memulainya.

"Dosa apa gue punya temen kayak lo sih?"

"Banyak sih dosa lo makanya berteman sama gue,"

"Mau gue bantuin nggak?" tawarnya.

"Kalo bantuan lo bisa bikin gue sama Mika kayak semula, kenapa nggak?" jawabku menerima tawaran Farren.

Mikaila. [gxg]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang