5. Jadi dulu kita...

10.1K 1K 182
                                    

"Kamu tau nggak sih kalo sebenernya kita seumuran makanya dari awal aku nggak manggil kamu kak?" tanya Mikaila membuatku langsung menggeleng

Dia terlihat kesal. "Daddy kamu bilang kalo kamu suka aku makanya dia dateng ke papah yang notabennya adalah temen dia buat ngomongin soal perjodohan kita. Tapi kamu nggak tau kalo kita seumuran?" tanyanya lagi dan kembali ku jawab dengan gelengan karena aku memang tidak tahu.

"Aku kira kamu cari informasi soal aku karena kamu suka sama aku," jawabnya kesal.

"Hehe aku nggak kepikiran." jawabku terdengar bodoh padahal menang sama sekali tidak terpikirkan olehku untuk mencari informasi tentang Mikaila. Selama ini yang ku lakukan hanyalah memperhatikannya dari kejauhan.

Dia menatapku kesal. "Ngeselin." katanya.

Aku terkekeh mendengarnya. "Kan kamu bilang kalo dulu pacaran sama aku pas kecil, berarti sebelumnya kita udah kenal?" tanyaku ragu karena aku sama sekali tidak mengingat Mikaila sebelumnya.

"Iya," jawabnya singkat.

"Kok aku nggak inget kamu?" tanyaku bingung sendiri.

"KARENA KAMU NGESELIN KENAPA DULU KAMU IKUT ORANGTUA KAMU PINDAH KE JERMAN LAMA BANGET LUPA KAN JADINYA SAMA AKU!" teriaknya membuatku bergidik ngeri.

"Jangan teriak gitu Mika, maaf kalo aku lupa tapi serius aku beneran nggak inget kalo sebelumnya kita pernah kenal bahkan pacaran kayak yang kamu bilang." kataku jujur yang membuat dia semakin terlihat kesal.

"Oke bentar biar aku tanya mommy dulu siapa tau bisa inget," kataku kemudian meraih ponsel yang tadi ku letakan di nakas.

"Nggak usah!" astaga Mikaila mode galak muncul lagi.

"Ya udah nggak, kamu pukul aja aku nggak apa-apa siapa tau bisa inget tapi jangan marah-marah gitu ya aku takut." kataku memelas.

Dia menghela nafas kemudian mengangkat tangannya bersiap memukulku. Aku menutup mata karena sudah pasrah menerima apa yang akan dia lakukan sekarang asalkan dia berhenti marah-marah dan berteriak padaku.

Sedetik, dua detik, sudah cukup lama aku memejamkan mata tapi aku sama sekali tidak merasakan satupun pukulan. Dengan sedikit takut aku membuka mata secara perlahan, dan setelah mata ini terbuka sempurna aku bisa melihat Mikaila menutup wajah dengan kedua tangannya serta aku bisa melihat bahunya bergetar. Mikaila menangis?

"Mika," panggilku pelan tapi tidak dijawab olehnya.

Aku menyentuh bahunya. "Kamu kenapa nangis?" tanyaku lembut karena aku merasa ada bagian dari hatiku yang terasa nyeri saat melihatnya menangis.

Masih tidak ada jawaban darinya dan yang bisa ku lakukan sekarang hanyalah menarik Mikaila ke dalam pelukanku. Aku mengusap kepalanya pelan penuh kasih sayang membiarkan dia menumpahkan hal-hal yang mungkin selama ini sudah dia tanggung sendirian. Aku mencium pucuk kepalanya setelah aku merasa bahwa Mikaila sudah cukup tenang. Tanganku kini beralih mengusap punggungnya mencoba memberitahunya bahwa sekarang ada aku yang siap berbagi banyak hal dengannya.

"Kenapa nangis hm?" bisikku sambil melonggarkan pelukan kami agar aku bisa melihat wajahnya. Tanganku dengan sigap langsung menghapus sisa air mata yang ada di pipinya.

"Kamu jahat." katanya dengan bibir cemberut.

Aku menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Mikaila. Jarang-jarang kan bisa melihatnya sedekat ini.

"Emang aku ngapain?" tanyaku.

"Kamu lupain aku." jawabnya lalu kembali menunjukan tanda-tanda akan menangis. Aku segera menariknya ke dalam pelukan dan langsung mengusap punggungnya.

Mikaila. [gxg]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang