Memandang hamparan samudra membiru yang membentang luas di hadapannya, lelaki dengan sekuntum mawar di tangan itu tegap berdiri. Tatapannya lurus ke depan dengan kaki tegak menopang tubuh tegapnya, seolah tak tergoyahkan.Masih mengenakan pakain rapi, berikut jas hitam yang membalut tubuhnya, lelaki itu menghadap sang hamparan air nan kelabu. Matanya lurus kedepan, seolah melawan terpaan angin sore yang berhembus di wajah tampannya.
Deburan ombak berbuih yang sesekali menyentuh kaki telanjangnya, membuat batinnya kembali bergejolak. Menahan kerinduan dalam hati yang bahkan tak pernah tampak tepiannya.
Perlahan mata lelaki itu terpejam, mencoba mengenang kembali saat bahagia sepuluh tahun yang lalu. Saat seorang gadis hadir dalam kehidupannya membawa sejuta warna.
Tubuh kekarnya seolah kembali merasakan bagaimana gadis terkasihnya itu bergelayut manja di lengannya. Tertawa, merajuk juga pipi bersemu ketika ia membisikkan sebait kata mesra.
Hembusan angin yang menerpa, seakan mewakili tangan lembut gadis itu saat membelai wajahnya. Lalu pria itu memejam, seolah merasakan saat gadisnya mendaratkan sebuah ciuman hangat.
Sepuluh tahun berlalu, dan rasa itu masih tetap sama. Bahkan kini, kerinduan itu semakin bergejolak. Seakan memaksa keluar untuk disampaikan kepada sosok yang mendadak hilang tanpa jejak, bagai tertelan bumi.
"Apakah kau juga merindukanku?" lirih lelaki itu berbisik, tanpa jawaban tentu saja.
Tangannya bergerak naik. Membawa kuntum merah untuk ia hirup. Ia mengecup setangkai mawar yang sedari tadi ia genggam, sebelum menghempaskannya jauh menuju lautan lepas.
"Mas, ayok!"
Sentakan di salah satu lengannya, membuat lelaki itu mengerjap. Menata kembali kesadaran yang sempat membawanya jauh pada kerinduan hati yang mendalam.
Lelaki itu menurut, ketika seorang gadis belia mengamit lengannya. Keduanya melangkah beriringan menuju mobil yang terparkir di tepi jalan, tak jauh dari pesisir pantai tempatnya semula berdiri.
"Sudah kubilang, tidak usah ikut." Lelaki itu memasang sabuk pengaman di tubuhnya.
"Mas, kenapa Mas Harsya nggak nikah aja sih? Biar bisa move on!" celetuk gadis dengan rambur sepinggang itu.
"Apa kamu pikir, pernikahan itu gampang?"
"Yaaa, kan tinggal nikah aja, Mas. Dari pada temen-temenku nitip salam terus! Dipikirnya, Mas Harsya ngga laku. Kan aku malu punya kakak bujang lapuk!" Bibir kemerahan itu mencebik.
"Bagus dong harusnya. Kamu bisa minta kompensasi dari mereka."
"Mas, aku serius. Mas ngga capek, dengerin Mami ngomel hampir tiap hari? Temennya udah punya cucu lah, mantu temennya begini lah, begitu lah ...."
"Ish!" Harsya mencubit bibir adiknya yang bersungut-sungut itu dengan gemas.
Ah, Mami.
Hingga detik ini, Harsya masih meyakini bahwa sang ibu turut andil dalam menghilangnya Livia, kekasihnya. Gadis manis yang telah pergi, membawa serta seluruh hatinya bertahun lalu.
Pria itu tahu betul, bagaimana sang ibu menentang hubungannya dengan Livia, dengan alasan klasik. Level ekonomi yang berbeda. Belum lagi, karena gadis itu hanyalah seorang yang tumbuh dan besar disebuah panti asuhan, tanpa mengenal kedua orang tua kandungnya.
Mengemudikan mobil dengan perlahan, ingatan Harsya kembali pada peristiwa saat ia pertama kali bertemu dengan pujaannya itu.
"Saya akan bekerja keras, mohon bantuannya." Gadis dengan blazer hitam itu membungkukkan badan sebagai tanda hormat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only You
RomanceAdult Romance 21+! Meski terpisah hampir sepuluh tahun lamanya, Harsya tetap berusaha menjaga hati dan cintanya untuk sang kekasih Livia. Perempuan yang tiba-tiba pergi dengan membawa seluruh hatinya. Livia menghilang begitu saja tanpa kabar, bagai...