Part 16. Luka, Rindu dan Kecewa

5.2K 387 63
                                    

Livia yang masih mengenakan jubah mandi melangkah ke arah pintu, karena mendengar suara ketukan.

"Ada apa, Mbak Nana?"

"Maaf, Bu. Ini ... ngggg ... anu ...." Asisten rumah tangga itu tampak gugup.

"Apa?" tegas Livia.

"Tadi, ada telepon dari kantor. Katanya koper Bapak suruh kirim saja ke kantor," ucap Nana dengan suara pelan.

Kejadian di rumah yang tak biasa sejak kemarin, membuat seluruh asisten rumah tangga merasa enggan untuk berbicara pada Livia maupun Sheyna.

Rumah yang biasa hangat sejak kehadiran Livia, mendadak kembali sepi. Dingin seperti sebelumnya, sejak kepulangan Shenya dengan tangis, begitupun Livia kemarin sore yang nyaris kehilangan senyuman di wajahnya.

Livia menghela napas dengan wajah datar. "Begitu?"

"Iya, Bu." Nana tampak takut.

"Siapa yang ambil?"

"Supir dari kantor Pak Harsya."

"Bilang sama dia, saya yang bawa kopernya ke kantor." Livia berucap, sambil berbalik dengan niat meninggalkan Nana.

"Tapi, Bu ...."

"Kenapa, Mbak?" Livia berbalik, urung masuk ke kamar.

"Bukannya Ibu harus istirahat?"

Livia mengernyit. "Istirahat?"

"Anu, Bu ... tadi ... tadi Bapak nelpon bilang begitu."

Mendadak mata Livia mengembun. Jadi, Harsya menelpon ke rumah, tapi sama sekali tak membalas pesannya? Bahkan, suaminya itu tak kembali sejak kemarin, padahal  hari ini, sampai seminggu ke depan ia harus pergi.

Lagi, Livia merasa ada yang berdesir aneh. Jauh di dalam hatinya. Jauh. Namun, jelas terasa sakit.

"Saya yang antar," ucap Livia sembari berbalik, tak ingin dibantah lagi.

Wanita dengan perut mulai membesar itu masuk ke kamarnya, tanpa menutup pintu. Membiarkan Nana masih mematung. Bagaimanapun, ia tak ingin tangisnya terlihat siapa pun. Kesehariannya di rumah sangatlah mesra, hingga tak ada alasan baginya untuk memperlihatkan pertikaian dengan sang suami.

"Sini Bu, saya bantu," sambut Nana ketika Livia keluar sembari membawa koper. Rupanya, Nana masih belum beranjak, sejak Livia meninggalkannya tadi.

"Terima kasih, Mbak Nana." Livia mendahului. "Jangan lupa antarkan sarapan ke kamar Sheyna ya, Mbak," pesan Livia, disambut Nana yang mengangguk patuh.

Livia mengemudi perlahan, keluar dari halaman rumah besar kelyarga Harsya. Meskipun banyak hal berkecamuk dalam benaknya kini, tetapi Livia masih tetap mencoba berpikir jernih. Dia paham, ketika Harsya marah. Wajar saja, karena mungkin, dia juga akan melakukan hal yang sama, jika berada di posisi sang suami.

Bukannya tak ingin memberi tahu. Akan tetapi Livia hanya tak ingin membebani Harsya, yang sedang sibuk akhir-akhir ini. Ia baru berniat memberi tahu, setelah perjalanan Harsya selesai, tetapi tak menyangka semua justru malah seperti ini.

Seorang sekuriti membantu membawa koper, ketika Livia sampai ke kantor.

"Bapak ada, Nit?"

Livia menyapa dengan senyuman, ketika sampai di depan ruangan Harsya. Dia tau, mungkin kemarin Nita bertanya-tanya tentang sikap anehnya.

"Maaf, Bu. Tapi Bapak sudah pergi sejak pagi tadi, penerbangan jam 06.20 pagi."

"Tapi, dia baru saja menyuruh supaya saya bawa kopernya, Nita." Livia mencoba menahan getar suara. Kecewa.

Only You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang