Part 9. Pilihan Berat

5.7K 296 12
                                    

Harsya memacu langkah dan berlari ke arah kerumunan yang mulai ramai, tak jauh darinya. Detik demi detik seolah begitu lama, sehingga jarak yang hanya seluas badan jalan itu terasa lama bagi pria itu.

Ingin Harsya mengutuk dirinya sendiri, ketika orang lain lebih dahulu berada di tempat di mana tadi Livia berdiri, dibandingkan dirinya.

Entah apa saja do'a yang terlantun dalam hati pria itu sepanjang mengayun langkah. Hal yang nyaris tak bisa ia lakukan karena reka kejadian dalam benak nyaris melumpuhkan kedua kakinya.

Mata Harsya memerah, sedangkan tangan kokohnya menyibak, coba menembus kerumunan yang mulai panik dan memadati tempat kejadian.

Langkah Harsya terhenti, ketika kakinya menginjak ujung syal rajut berwana merah berlumur darah.

Bukankah itu milik Livia?

Habis sudah tenaga Harsya daat mendapati benda itu. Kakinya lemas dan membuat tubuh tegapnya kehilangan keseimbangan. Seluruh tubuh pria itu bergetar, membuatnya lunglai dan duduk bersimpuh. Kedua tangan pria itu mengepal erat syal merah di dadanya.

Jerit dan tangis beberapa orang perempuan di tempat itu bagai kidung duka di telinga Harsya saat ini. Sementara di benaknya terbayang senyum manis Livia sesaat sebelum menyebrang jalan. Pun juga teringat bagaimana istrinya itu melambai dengan tersenyum lebar.

Apakah itu artinya istrinya mengucapkan selamat tinggal?

"Livia ...," bisiknya pilu.

Dengan sisa tenaga, Harsya mencoba bangkit dan menembus kerumunan. Beberapa orang lelaki tampak mencoba menyadarkan korban yang tergeletak berlumur darah segar.

Harsya mendekat, matanya liar meneliti sosok yang terbaring bersimbah darah itu. Seorang memangku kepala yang berlumur darah itu dengan gemetar.

"Livia?!"

Bagai musafir yang menemukan mata air, Harsya meraih tubuh Livia, memeluknya erat.

"Ak--ak--ku ... tadi ... tadi aku mencegahnya, t--taapi, dia menepis tangankuu...." Terbata Livia berucap. Wajah wanita itu terlihat pucat bak kapas

Bibir Liva bergetar, pun dengan seluruh tubuhnya. Sementara, korban yang berlumur darah itu, diam tak bergerak dalam pangkuannya. Sebelum tersambar mobil, korban yang tak diketahui namanya itu semoat ditarik oleh Livia. Namun si korban abai dan tetap menyeberang tidak hati-hati.

"Bb--bb--bagaimana ... bagaimana ini??" Air mata Livia berderai. Sementara seluruh pakaiannya telah basah oleh cairan merah itu.

Harsya bangkit dan bertanya dengan suara serak, menunjukkan kepanikan.

"Di mana kantor polisi terdekat?" tanyanya kepada beberapa orang.

"Di sana, Mas! Biar saya kesana!" Irsyad yang sedari tadi menunggu di mobil, menyahut. Entah kapan anak itu telah berada di kerumunan yang sama.

Setelah berucap, adik Livia itu berlari cepat mencari pinjaman motor, dan memacunya kencang. Menimbulkan kepulan asap juga suara meraung.

"Puskesmas?! Rumah sakit?!" Harsya mengambil ponselnya dengan tangan gemetar.

"Rumah sakit jauh, Mas ... kalau puskesmas, sekitar lima kilo dari sini." Seorang menyahut.

"Ah!" Harsya meremas kepalanya dengan frustrasi.

"Tapi, tetangga saya bidan praktek, Mas!" Seorang lagi menyahut.

"Cepat panggil kemari!" ucap Harsya semakin gusar.

Berkali-kali dia melihat dengan cemas ke arah Livia. Ingin rasanya segera merengkuh wanitanya itu, jika saja Livia tak berada dalam posisi memangku korban.

Only You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang