Part 8. Sah!

6.1K 268 14
                                    

Beradu pandang dengan wanita di hadapanya, Livia benar-benar tak bisa menahan diri. Seluruh belulangnya seolah tak mampu lagi menahan berat tubuhnya.

Seketika, Livia meluruh ke lantai semen berwarna hitam legam itu, terduduk, bersimpuh memeluk kaki sang ibu. Menumpahkan banyak tangis akan kerinduan, juga mengadu atas nasib yang selama ini seolah tak berpihak.

Sementara wanita yang dipanggil ibu ity masih tegak berdiri, mematung dengan air menitik di pelupuk mata. Dari dadanya yang naik turun, tampak ada luka tak terkira, berdentam hebat, meski bibir tetap diam dan mengatup rapat tanpa suara.

Tangisannya pilu Livia pecah pafa akhirnya. Mendekap erat kaki pemilik surganya, dia meraung di kesunyian senja berkabut tanpa jingga yang dingin itu.

"Pulanglah  ...." Akhirnya bibir tua itu berucap dengan getar. "Ak--aku bukan ibumu ...," lanjutnya lagi terbata

Tangis Livia semakin keras terdengar, juga kian mempererat pelukan di kedua kaki yang tegak berdiri itu. Kepalanya menggeleng keras, menolak kata yang terucap untuknya.

"Ini Livia, Bu ... anak Ibu ... tidakkah Ibu ingin melihatku? Tidakkah Ibu ingin memelukku?"

Livia terus meratap dalam tangisnya. Getar suara yang terbata dari wanita itu menyiratkan sakit yang luar biasa. Sakit, dan rasa bersalah yang coba ia sembunyikan.

Livia berpikir, bahwa selama ini dia lah orang yang paling mengerti akan arti kesendirian dan kehilangan. Namun, ia salah. Suara yang ia dengar itu, itulah yang lebih memahami betapa sakit meninggalkan aoa yang begitu dicintai.

Wanita tua itu masih tegak berdiri, sedikit pun tak bergeming melihat tangis Livia, meski pipinya sendiri telah basah. Sesaat mata berhias keriput itu memejam, seolah menikmati sakit yang kembali menyusup.

Rasa yang selama tiga puluh tahun ia pendam, dan tak bisa hilang meski dengan sekuat tenaga ia menahan, hari ini ini rasa itu muncul kembali. Saat putri yang ia tunggalkan dahulu hadir kembali.

Ingin rasanya wanita itu memeluk putrinya. Menumpahkan rindu tak terkira. Rasa yang hanya bisa ia wujudkan dalam mimpi di setiap malam selama ini. Rasa yang ingin ia tepis sekuat tenaga dan hanya bisa ia bisikkan dalam lantunan dalam do'a.

Namun, wanita itu tidak ingin rasa yang berkuasa di hatinya itu tumbuh, dan membuatnya serakah. Laku kemudian berhasrat memiliki putri yang kini bersimpuh di kedua kakinya itu.

Tubuh ringkih itu bergetar, seiring derai air mata yang tak henti mengalir. Tidak menyangka bahwa pertemuan yang sangat ia impikan justru membawa sesak dan sakit luar biasa di hatinya.

Akankah putrinya itu mengerti keadaannya? Ibu itu bahkan tak yakin, apakah segala penjelasannya bahkan  akan membuat Livia mengerti nantinya.

Kedua tangan sang ibunda itu mengepal erat, dengan hati diliputi ketakutan yang amat sangat. Sementara lelaki tua yang sedari tadi berdiri di belakangnya berlutut, meraih pundak Livia untuk bangkit.

"Ayo, masuklah dulu." Pria itu buka suara, lau menunduk. Berniat membantu Livia untuk bangkit, tapi putrinya itu menolak. Kedua lengan Livia masih erat memeluk kaki ibunya.

Melihat itu, Harsya berlutut dan melakukan hal yang sama dengan pria tadi. Pelan, ia mencoba melepaskan dekapan Livia di kaki ibunya itu.

"Sayang ... sudah ... ayo ...," bisik Harsya disertai kecupan lama di kepala sang kekasih.

Butuh waktu beberapa saat, hingga kedua lelaki itu berhasil membawa Livia masuk. Masih sesenggukan, Livia duduk di kursi sudut berwarna coklat, dalam ruang tamu hunian sederhana itu.  Sementara Harsya tetap memeluk dan membelai kepala wanitanya itu. Mencoba menenangkan sebisanya, dari tangis yang menguasai Livia sejak tadi.

Only You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang