Part 15. Sebuah Pengakuan

4K 296 25
                                    

Beberapa hari belakangan ini Harsya disibukkan dengan pekerjaannya, terkait perencanaan pembangunan cluster barunya di luar kota. Kesepakatan telah mencapai titik temu dengan pihak pemerintah daerah setempat.

Dalam beberapa hari kedepan ia akan melakukan kunjungan kerja ke sana dan semua persiapan telah Livia siapkan. Termasuk koper yang akan dibawa oleh suaminya.

Itulah sebabnya, hari ini pula Livia bermaksud menghabiskan hari di kantor menemani sang suami. Karena ini adalah pertama kali ia akan terpisah lama, semenjak pernikahannya. Biasanya Harsya hanya pergi dua atau tiga hari saja, tidak lebih seminggu.

Livia tak henti mengulum senyum, membayangkan betapa akhir-akhir ini Harsya sangat memanjakan dan melipatgandakan perhatian untuknya. Menjadi ritual setiap malam sebelum tidur, ketika Harsya selalu menyempatkan memijat kakinya, meski ia sendiri sedang dilanda lelah dan kantuk sepulang kerja.

Berdiri mematut diri dengan mengenakan terusan berbahan sifon ungu muda, Livia tampak sangat cantik dengan perut yang mulai menyembul. Perlahan dia memulas lipstik, lalu bangkit dari duduknya dengan cepat ketika ia menyadari sesuatu. Pintu lemarinya terbuka, juga beberapa pakaian terjatuh di lantai.

Serta merta Livuaberlari ke arah lemari dan mencari amplop yang tersimpan rapi di sana. Seingatnya, benda itu terselip di antara tumpukan bajunya.

Tangan Livia terus mencari, hingga di tumpukan terbawah. Sampai baju yang teratur rapi itu sebagian terjatuh dan berserakan ke lantai.

Nihil!

Tak ada amplop coklat seukuran map yang ia cari. Sesaat kemudian, Livia pun mulai panik. Takut jika mungkin Harsya menemukan benda yang ia rahasiakan.

Tak berpikir lama, Livia segera menyambar tas dan kunci mobil dari meja. Wanita itu berlari, bahkan saat menuruni anak tangga yang memutar.

"Yaa Allaah, Bu Livia! Awas, Bu! Mau ke mana sampai berlari begitu?" terdengar suara Nana, sang asisten rumah tangga berteriak dengan cemas, dari lantai bawah.

Livia tak menyahut, hanya berhenti sejenak. Tampak dia mengatur napas sesaat sembari memegangi perutnya, dan kembali berlari ke luar.

"Bu Livia, hati-ha--'" Tak selesai kalimat Nana terucap, ketika terdengar suara decitan ban beradu dengan paving blok di halaman.

Keringat membasah di dahi Livia, sedangkan kakinya menginjak pedal gas. Tak ia hiraukan saat perutnya merasa tegang dan kurang nyaman karena berlari kencang saat menuruni anak tangga.

Livia mengusap perut yang terasa kram, dengan tatapan tak lagi fokus ke jalan raya. Beberapa kali, ia bahkan nyaris menyerempet pengendara motor yang melintas, lalu berujung makian terhadapnya. Livia masih tak peduli. Jika ada yang ia inginkan, yaitu tiba di kantor dengan segera, sebelum Harsya salah paham.

Livia memukul kemudi, dan menekan klakson dengan gemas ketika ia terjebak kepadatan kendaraan.

Dia bahkan menyandarkan keningnya di setir, ketika mobilnya benar-benar harus berhenti karena kemacetan. Lampu lalu lintas yang menyala merah di depan sana menambah macet semakin panjang.

Livia hanya takut jika Harsya melakukan hal di luar kebiasaanya. Seketika matanya mengembun, ketika membayangkan wajah Erwin yang mungkin terintimidasi oleh suaminya.

Bukan tanpa alasan, karena Livia tahu betul bagaimana Harsya sedang marah. Meski dalam kesehariannya pria itu begitu lembut, tapi akan beeubah menjadi singa lapar saat emosi. Terlebih jika ini mengenai pria yang mempermainkan Sheyna. Sang adik kesayangan.

Livia takut jika Harsya akan melukai Erwin. Bahkan kini dia berlari, hanya untuk mencegah suaminya melepaskan emosi terhadap lelaki itu.

Saat sedang panik, Livia teringat pengakuan Erwin di restoran beberapa saat lalu.

Only You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang