Part 18. Sambutan Hangat

5.2K 308 32
                                    

"Aku bisa membantu, Mas," pinta Livia. Ia memandangi Harsya yang sejak tadi sibuk berkemas.

Pria itu dengan sigap memasukkan pakaian ke dalam sebuah kopor. Tak banyak barang yang dibawa Livia saat itu. Meskipun begitu, mengemas barang milik istrinya membuat Harsya beberapa kali tampak kebingungan.

"Tetap di situ, dan jangan bergerak atau protes!" Harsya berkata sambil menunjuk ke arah Livia. Wanitanya itu tengah duduk dan bersandar di ranjang, tak jauh darinya.

Setelah beberapa hari menghabiskan waktu di kota sejuk tempat Livia pernah terasing beberapa tahun lalu, rencananya mereka berdua akan kembali esok sore. Tentu saja, setelah ritual berpamitan dengan Fera dan Ratna yang dramatis.

"Aku bukan lansia, sampai kamu melarangku membantu, Mas!" Livia masih mencoba bernegosiasi. Akan tetapi, Harsya tetap tak memberi izin.

"Tetap di situ, Sayang!" Harsya menekan suaranya, sambil menatap dengan sorot penuh arti.

"Tapi kenapa? Aku bosan!" Livia mencebik.

"Biar aku selesaikan semua urusan berkemas sendiri. Tugasmu adalah menghilangkan rasa lelah, setelah aku berkemas nanti."

"Maksudmu?" Livia mengerutkan keningnya.

Tak menjawab tanyanya, Harsya malah memajukan bibir, membentuk ssebuah ciuman. Tentu saja, hal itu membuat semburat merah melukis wajah Livia. Ia lantas melempar sebuah bantal ke arah sang suami yang kini tengah tertawa.

Livia tak habis pikir dengan Harsya yang begitu menggebu-gebu sejak datang ke kota ini tiga empat hari yang lalu. Selalu saja mencari celah untuk bercinta setiap saat. Bahkan kemarin, mereka melakukannya saat berada di kantornya yang berada di toko kue. Mengingat pergulatan panas  mereka belakangan ini, wajah Livia semakin merona.

"Dasar!" Livia menunduk, mengalihkan perhatian Harsya sambil mengaduk-aduk piring berisi buah dalam pangkuan.

"Mau kuambilkan lagi?" Harsya bangkit, saat menyadari piring yang dipegang Livia hanya menyisakan sedikit potongan buah.

"Ah, tidak perlu. Nanti aku ambil sendiri." Livia beringsut, berniat ke dapur mengambil beberapa makanan.

"Sudah kubilang, tetap di situ dan jangan keluar."

Livia memutar bola mata, lalu mendengkus.

"Kenapa sih, Mas?" tanya Livia. Dipandanginya sang suami yang kini duduk di tepi ranjang. "Sejak sore tadi kamu aneh, deh!

Harsya balas menatap wanitanya, dalam. Mata pria itu bahkan menelisik tiap lekuk wajah, sampai matanya berhenti di sekitar bahu dan dada Livia.

Merasa dipindai mata Harsya yang tajam layaknya mesin scanner, tak urung Livia merasa risih.

"Yakin, kau tidak sadar apa-apa?

"K--kenapa?"

"Masih bertanya?" Harsya lantas mengulur tangan dan menyentuh bahu, serta sebagian dada istrinya.

Serta merta Livia menunduk, dan mencebik saat mendapati banyak tanda cinta di tubuhnya.

"Dan kamu memaksaku memakai baju ini dengan alasan kamu menyukainya?" Livia menunjuk gaun tidur berbahan satin tipis yang kini ia kenakan. Baju berwarna merah jambu yang menurut Harsya sangat cocok di tubuhnya. Apa lagi di saat seperti sekarang, saat perutnya membuncit.

"Karena kau cantik dengan pakaian ini."

"Jadi, biasanya aku tidak cantik?"

"Ah, maksudku, aku ingat saat kau menggodaku pertama kali dengan baju ini. Ya meskipun aku lebih suka kalau kau tidak berpakaian sama sekali."

Only You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang