Part 17. Kerinduan (21+)

9.6K 353 44
                                    

Harsya berlalu melewati pintu besar berukiran indah di rumahnya dengan langkah cepat. Wajahnya tampak sangat lelah. Betapa tidak, pekerjaan yang seharusnya ia selesaikan dalam waktu sepuluh hari, dengan cepat diselesaikan hanya dalam seminggu saja.

Rasa rindu terhadap sang istri dan calon bayinya, tak bisa membuat ia berlama-lama jauh dari Livia. Senyum di bibirnya terbit, mana kala membayangkan bahwa wanitanya menjadi dua kali lipat lebih manja saat ini.

Seorang asisten rumah tangga menyambut dengan wajah penuh kantuk karena terjaga, dan meraih koper yang dibawa Harsya. Setengah berlari, ia menapaki anak tangga yang memutar. Tak sabar lagi untuk bertemu dengan wanita yang begitu ia rindukan. Ia membuka pintu perlahan, tak ingin membangunkan Livia, mengingat saat ini sudah lewat tengah malam.

Harsya berjalan menuju pembaringan yang tertata rapi. Dan terkejut, saat tak mendapati istrinya di sana. Memeriksa kamar mandi, pun tak ada.

Dimana dia?

Ia lantas keluar dan menuju kamar Sheyna. Diketuknya dengan tak sabar.

"Livia ke mana?" Harsya menyerbu dengan pertanyaan, bahkan sebelum sempat Sheyna membuka pintu dengan sempurna.

"Mas sudah pulang?" Sheyna yang masih dikuasai kantuk tersentak kaget. Matanya merah sebab terjaga.

"Livia ke mana?" ulang Harsya lagi.

"Ng ... Mbak Livia nggak nelpon, Mas?"

"Telepon?" Harsya menepuk jidatnya.

"Kenapa?"

"Aah, mungkin tertinggal di kantor. Atau ... di mana ya?" Sekarang Harsya tampak bingung. Terbiasa menggunakan ponsel berbeda untuk urusan kantor dan keluarga, membuatnya lupa jika salah satu ponselnya tertinggal. Kebiasaan buruk, saat ia masih menjadi lajang yang gila kerja.

"Hah?!"

"Ngga tau, hapeku dimana, Sheyna."

"Laah, Mas ga bawa hape? Kok bisa? Dasar, kebiasaan ya! Pantesaaaan!" Sheyna memperbaiki rambutnya.

"Kenapa?"

"Mbak Livia pulang ke kampungnya! Dia pikir, Mas marah. Di whatsapp ga di bales. Di telpon tapi mati!" jawab Shenya kemudian, lalu melangkah masuk ke kamar. Sementara, Harsya mengekor.

"Pulang?"

"Katanya Mas marah?"

"Aku?"

Harsya menepuk dahinya sekali lagi. Benar. Sebelum pergi, ia memang sempat merasa kecewa pada Livia. Namun, kerinduan yang mendera hatinya beberapa hari ini, sungguh membuatnya lupa jika sempat marah pada istrinya. Ia bahkan lupa jika telah bersikap menyakiti. Apalagi saat Livia jauh lebih sensitif daripafa saat ini.

"Ish! Terus, gimana dong? Telepon Mami, Dek, cepetan!" usul Harsya. Setidaknya, ia ingin tahu bagaimana respon sang ibunda atas kepergian Livia.

Sheyna berlari mengambil ponselnya. Dia hanya takut jika Harsya marah kepadanya. Selembut apa pun sang kakak, ia tahu bahwa Harsya sangat mengerikan ketika marah.

"Mami bilang apa?" tanya Harsya tak sabar.

"Marah lah, tengah malem di bangunin!"

"Ish, kamu! Mami bilang apa?"

"Kata Mami, Mbak Livia lagi kangen sama rumah dan toko kuenya, makanya pulang."

"Kok kamu nggak ngomong sama aku?!"

"Mau ngomong sama apa? Sama tembok?! Kebiasaan hape selalu ilang!" Sheyna mendengus gemas. "Lagian kalo aku teleponin Mas Harsya di hape satunya  pasti ditolak, kan? Dengan alasan itu hape buat keperluan bisnis? Buat kerja?" Sheyna tak mau kalah.

Only You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang