Part 14. Rahasia

3.7K 304 44
                                    

"Kamu sudah bangun?" Harsya mengerjapkan mata, ketika melihat Livia sedang duduk membelakanginya, di depan meja rias.

Livia hanya tersenyum dan melihat dari pantulan cermin. Wanita itu memejam dan tersenyum, saat Harsya memberikan sebuah kecupan di kepalanya, sebelum berlalu ke kamar mandi.

Livia sangat bingung sekarang. Apa yang harus ia katakan pada Harsya tentang apa yang mengganjal peradaan. Sementara foto-foto yang ia terima kemarin, belum cukup membuatnya yakin tentang siapa Erwin.

Wanita itu tak ingin terlalu gegabah, mengingat Erwin adalah salah satu karyawan di kantor Harsya. Bisa saja Harsya memecat pria itu, bahkan tanpa memberikan kesempatan pada Erwin untuk memberi penjelasan. Bagaimanapun, Sheyna adalah adik yang sangat ia sayangi.

Jika itu sampai terjadi, tentu Livia akan sangat menyesal karena turut andil dalam memutus sumber penghidupan orang lain. Dia tidak sampai hati jika itu terjadi. Mengingat ada seorang perempuan yang mungkin adalah istri, dan juga seorang ibu. Ada pula seorang anak kecil yang mungkin menjadi tanggung jawab Erwin.

"Ada yang kamu pikirkan?"

Livia yang tak menyadari kedatangan Harsya serta merta mengerjap karena terkejut. Lelakinya itu hanya mengenakan selembar handuk yang membalut tubuh bagian bawahnya.

Harsya berdiri di sisi istrinya yang sedang menepuk wajah dengan kapas. Pria itu menyisir rambut dan berniat menyemprotkan parfum ke tubuhnya, ketika Livia memeluk pinggangnya.

"Jangan memakainya, aku tidak suka. Pakailah jika kamu sudah berada di luar," ucap Livia. Ia memejam, menikmati aroma sabun segar, yang menguar dari tubuh lelakinya itu.

Harsya meletakkan kembali parfum yang telah dipegangnya.

"Apa kamu akan ke kantor hari ini? Aku ingin makan siang denganmu."

"Baiklah, tapi mungkin aku datang agak terlambat."

"Mau ke mana?"

"Menemui seorang teman lama."

"Baiklah."

***

Memegang gelas jus di tangannya, pagi itu Livia banyak terdiam. Ia terus memerhatikan Sheyna yang sibuk dengan sarapannya.

Pagi ini, gadis itu bahkan bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan. Senyuman juga selalu mengembang di bibir adik Harsya itu.

"Mami sama Papi mau ke Singapur beberapa hari." Suara Bu Rahayu memecah kesunyian di antara denting sendok dan piring.

"Oh ya? Kapan, Mi?"

"Mungkin lusa. Papimu ada sedikit urusan dengan teman lamanya, sekaligus mami mau berobat."

"Lama, Mi?" Sheyna mengangkat wajah.

"Paling lama dua munggu."

"Dua minggu? Itu lama loh, Mi." Sheyna menatap orang tuanya bergantian.

"Sekalian, mami mau cek rumah sakit rekomendasi Erika, untuk mbakmu nanti melahirkan."

"Tidak perlu, Mi. Livia biar di sini saja. Iyakan, Sayang?" Harsya menatap Livia.

"Betul, Mi. Aku di sini saja. Lagipula--"

"Mami cuma mau yang terbaik buat cucu mami, Sya."

"Erika sudah cukup, Mi. Kasihan nanti Bu Kasih ataupun Bu Mira. Bukankah mereka juga ingin menjenguk cucunya?"

"Iya, Mi. Rumah sakit di sini juga sudah sangat baik." Pak Hendrawan pun angkat bicara.

"Baiklah, terserah kalian saja. Sheyna, kuliah kamu bagaimana?"

Only You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang