Karena aku paham, perasaan itu tidak terduga, mari membuat banyak kenangan hingga waktunya tiba.
***
Bilik-bilik kecil jendela secara bergantian membunyikan suara seirama dengan semilir angin yang berhembus lembut, membisikkan alunan nada musim semi yang indah. Hyera membuka kembali kenangan di dalam kamar yang dulu pernah menjadi tempatnya meluapkan segala perasaan gundah akibat resah yang sudah-sudah.
"Hyera-ya." Sebuah suara renta yang lembut melebur ke dalam rungunya, menyita minat dari obsidian yang menatap bunga di jerambah yang mulai bermekaran, "suamimu menunggu, sebaiknya kalian pulang, hari sudah mulai petang, tidak baik berada di jauh hingga larut."
Hyera menatap dengan penuh kekecewaan atas saran dari wanita tua di ambang pintu, bahunya turun dengan lunglai lalu mulai berjalan sepuluh jengkal lebih dekat kepada wanita sepuh dengan konde bercorak merak, semerbak bau melati yang telah lama hilang menembus kembali hingga ke dalam pangkal hidung.
"Bibi, Hyera ingin menginap di sini saja." Hyera memeluk wanita tua yang tingginya hanya sebatas ceruk leher, sedang tangannya melingkar di perut bergelambir yang dibelit oleh selendang kain yang ditenun sendiri.
"Hyera." Wanita renta itu mengajak Hyera untuk terduduk di tepi ranjang, mungkin bermaksud untuk kembali bertukar pikiran yang telah beberapa bulan belakangan ini tidak mereka lakukan, "apakah suamimu baik kepadamu?"
Hyera terkesiap, menimang-nimang jawaban atas pertanyaan yang keluar dari mulut bibi panti, membuatnya berpikir dengan keras- mempertanyakan perbincangan yang cukup ajaib antara dirinya dan bibi, atau mempertanyakan pertanyaan aneh yang terlontar dari mulut wanita tua itu.
"Tentu saja dia sangat baik, mengapa bibi bertanya seperti itu?"
Bibi mengulas senyum simpul- membelai lembut bahu wanita belia yang tengah menatapnya dengan curiga atas pertanyaan konyol yang terlontar begitu saja.
"Kalau begitu, urus dia dengan baik juga." Bibi mengelus sepanjang surai hitam Hyera yang terurai di belakang punggung. "Kalian boleh berkunjung ke sini namun tidak untuk menginap. Kau tahu keadaan di sini seperti apa, kau tidak ingin membuat suamimu merasa tidak nyaman bukan?"
Hyera mendengus dan mengulum bibir. Memang benar tuturan bibi, Hyera sudah memiliki suami yang sekarang telah menjadi tanggung jawabnya, tidak etis jika mereka menginap di tempat yang bahkan jaraknya hanya beberapa jam dari rumah, apalagi tempat itu adalah sebuah panti asuhan- pun karena Hyera telah memiliki kehidupannya sendiri. Jadi, pasangan itu berpamitan dan beranjak pergi saat luna di langit telah menyembul dengan samar.
"Kapan-kapan Hyera ke sini lagi bibi. Sampai jumpa." Hyera memeluk dengan intens tubuh renta yang telah dianggapnya sebagai ibu selama hampir 25 tahun."
"Hati-hati di jalan."
Mobil sedan hitam melaju meninggalkan rumah kuno yang perlahan mengabur kemudian lenyap dari netra kelam milik Hyera, ada rindu yang belum sepenuhnya terobati di dalam sana- rasa hati masih ingin memejam sembari menghadap ke luar jendela dengan semilir angin malam yang nembelai lembut wajahnya, dan menyesap secangkir kopi seperti dahulu yang sering dia lakukan.
Mendadak Hyera kembali pada tingkat kesadarannya yang mulai menipis, kembali ke realitas dunia dan menyadari bahwa kehidupan ini terus mengalir seperti air sesuai takdir, lagipula ia sudah dewasa hingga perlu memikirkan semua hal lengkap dengan konsekuensinya.
"Mengapa melamun?" Lelaki di belakang kemudi nampak cukup terusik dengan mulut diam wanita di sisinya.
"Tidak apa-apa."
Seokjin mengusap dengan lembut punggung tangan Hyera- hangat. Lelaki itu mencoba memahami perasaan wanita itu dengan berkali-kali mengusap lembut sepanjang jemari hingga lengan bagian bawah kulit pucatnya.
"Hyera-ya?" Seokjin menjeda kalimatnya sebentar, lalu melanjutkan setelah berdehem sebanyak dua kali, "kau tahu tidak? Kalau dulu cita-citaku adalah menjadi petani?"
"Tidak, kau belum menceritakannya padaku."
"Ingin mendengarnya?"
"Tentu saja, aku selalu suka apapun yang kau ceritakan."
"Dulu- dulu sekali, waktu itu kira-kira umurku masih 15 tahun, aku berkunjung ke rumah pamanku di Wanju. Kau tahu kan kalau aku menyukai Stroberi?" Seokjin melirik sekilas ke arah Hyera yang sedang mendengarkannya dengan penuh keminatan.
"Tentu saja, kau menyukai stroberi, namun tidak menyukai makanan apapun dengan rasa stroberi. Aneh- tapi lucu." Hyera terkekeh geli.
"Kau tahu apa yang lebih aneh lagi? Aku malah ingin menjadi petani melon."
"Kenapa begitu?"
"Jadi begini, aku menyukai hal-hal yang berbau kejutan, karena aku suka tantangan. Stroberi itu cantik, tapi rasanya belum bisa diprediksi. Kadang manis, kadang asam, aku menyukai kejutan yang selalu ada jika aku menggigit buah merah itu." Seokjin menjeda sejenak, Hyera masih menatap dengan saksama, menaruh seluruh atensinya pada gerakan bibir lelaki itu, sambil membelai lembut tangan besarnya.
"Seperti hal-nya perasaan, bisa berubah kapanpun tanpa bisa diduga, entah akan terasa manis hingga akhir, atau berakhir dengan masam sehingga membuat kita kecewa dan kepayahan." Lelaki itu menelan ludah sebanyak dua kali dan beralih untuk menggenggam jemari Hyera dengan lembut.
"Lalu kenapa kau ingin menjadi petani melon?"
"Karena melon itu tumbuh di tempat yang sangat rendah, sulurnya menjalar di atas tanah, batangnya tidak besar namun bisa menghasilkan buah yang besar dan manis." Seokjin tersenyum, membuat wanita di sisinya ikut menggerakkan bibirnya yang terkatup.
"Meskipun aku menyukai stroberi, namun aku ingin menjadi seperti melon, aku ingin tumbuh perlahan dengan amat baik, aku ingin menumbuhkan perasaanku sedikit demi sedikit, walaupun memerlukan waktu yang cukup lama- tapi aku yakin itu akan berakhir dengan manis."
"Memangnya ada apa dengan perasaanmu Seokjin-ah?" Hyera menyisipkan beberapa helai rambut yang menutupi kening lelaki itu.
Seokjin mematung, tatapannya lurus ke depan dan jemari Hyera di genggamnya semakin erat. "Tolong bantu aku, aku ingin kita berakhir dengan bahagia."
Hyera terkesiap, otaknya terlalu lamban untuk dapat menangkap maksud dari lelaki di belakang kemudi, tangannya terhenti tepat pada sisi wajahnya- karena jemari lelaki itu menahan telapaknya di sana.
"Maksudmu?"
Seokjin termenung, dan Hyera masih menatapnya dengan kebingungan, menginginkan jawaban dari ungkapan aneh yang terucap dari bilah bibir tebal lelaki itu.
Mengapa hari ini semua orang berbicara dengan ajaib, saking ajaibnya Hyera jadi tidak bisa merespon apapun untuk menjawab mereka, bahkan mengerti saja tidak.
"Bukan apa-apa." Seokjin tersenyum dan mengacak lembut pucuk kepala Hyera yang terbungkus dengan surai hitam panjangnya, "kau ingin makan apa? Aku ingin daging."
"Baiklah, ayo makan daging." Hyera menyerah, pikirannya terlalu dangkal untuk bisa menangkap maskud tersirat dari lelaki itu, lalu melanjutkan dengan cukup ragu, "ayo membeli stroberi juga, siapa tahu itu bisa membuatmu tertantang agar lebih mahir untuk memilih rasa yang manis."
Seokjin hanya tersenyum ketika Hyera melanjutkan kembali, "Kau tahu Seokjin-ah? Meskipun rasanya tidak bisa diduga, namun stroberi itu candu. Walaupun kau pernah memilih yang masam, namun kau tetap ingin memakannya lagi dan lagi, kadang kau akan tertawa dengan bahagia jika itu manis, namun kau akan berseru dengan sesal jika itu terasa masam."
Seokjin mengerutkan kening, mencoba menganalisis hal apapun yang bisa dia tangkap dari ucapan gadis di sebelahnya.
Hyera benar dan ini adalah suasana yang sangat kikuk- sebab kedua manusia itu sama-sama terdiam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Aku-" Seokjin kembali meraih jemari Hyera yang sedikit gemetar.
"Aku tidak sedang berusaha memilih yang manis, namun sedang berusaha untuk membuat akhir yang manis, Hye."
Hyera pun tak paham, kenapa tubuhnya bisa bereaksi berlebihan terhadap apa yang dirinya katakan, seolah hatinya bisa menangkap maksud dari perkataan lelaki itu, namun otaknya tidak mengerti sepenuhnya, mungkin belum.
Tetapi rupanya Seokjin seolah mengerti, hingga lelaki itu menggenggam jemari Hyera semakin erat, mencoba mengalirkan energi yang menyebabkan wanita itu berhenti dari pikiran buruknya yang kelewat batas.
"Tidak usah dipikirkan sayang, jangan penuhi hatimu dengan sesuatu yang berlebihan, ya?"
"Iya." Hyera hanya mengangguk, jika Seokjin telah berkata seperti itu, maka menurutnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan, Hyera selalu percaya dan seolah terhipnotis sehingga hanya bisa mengatakan 'ya' apabila kalimat serius semacam itu melesak dari bilah bibir tebal pria itu.
Mobil sedan hitam menyisi ke sebuah kedai di sudut jalan yang berseberangan dengan trotoar yang ramai dengan keriuhan malam hari. Tentu saja, sebab ini adalah sabtu malam.
"Itu- Taehyung?" Hyera memicing, tangannya menunjuk ke sebuah meja dengan beberapa lelaki yang mengelilinginya. Seokjin hanya mengikuti kemana arah telunjuk Hyera hingga tatapannya berhenti pada sosok pria yang tengah meneguk air di dalam gelas dengan sekali dorong- tentu saja itu air putih- karena Seokjin paham bahwa toleransi alkohol pria di sana sangat rendah.
"Biarkan saja, dia masih bersama teman-temannya, ayo sini." Seokjin menuntun Hyera dan menarik sebuah kursi di sebelah jendela kaca yang cukup besar, hingga matanya dapat menangkap seperempat inci pemandangan yang tersaji di luar sana.
Netra milik Hyera dapat dengan leluasa melihat dua orang yang sedang mengadu kasih dengan sebuket bunga di tangan, atau melihat si kecil yang tangannya terpaut dengan jemari besar sang ayah. Hyera hanya tersenyum simpul dengan mata yang penuh keminatan melihat panorama itu, alih-alih memakan daging yang telah Seokjin panggang, Hyera hanya melamun sambil menekuk kedua lengannya di atas meja.
"Ayo dimakan sayang, kau belum memakan apapun sejak tadi." Seokjin mengambil bagian daging yang cukup kecil dan melipatnya bersama acar dan daun selada, menyodorkan ke arah wajah wanita di depannya hingga menyentuh area bibir- membuatnya sedikit terperanjat.
"Ayo, buka mulutmu." Seokjin menggerakkan tangannya yang terisi oleh daging sebanyak tiga kali. Bibir Hyera bergerak dan menyambut daging yang membuat selera makannya meningkat.
Tidak bohong- dagingnya enak sekali- entah daging di sini memang seenak ini atau komposisi ajaib yang dibuat oleh tangan Seokjin hingga menghasilkan daging empuk dengan rasa yang sangat lezat.
"Hyung." Suara bariton yang khas menggema di seperempat bagian kecil dari kedai itu, membuat nama yang dipanggil sontak menoleh, begitu pula dengan wanita di depannya. di depannya.
"Taehyung." Seokjin berucap lirih dan mengedikkan bahunya sebanyak satu kali, tangannya melambai menyuruh lelaki itu untuk menghampirinya.
"Boleh bergabung, Hyung?" Taehyung berjalan dengan cepat ke arah meja di sisi dalam kaca besar di sebelah jendela, sebuah kacamata besar terlihat menggantung dengan sempurna di atas hidung mancungnya.
"Duduklah di situ." Seokjin memberi tanda dengan dagunya yang bergerak dan sudut matanya menunjuk sebuah kursi kosong di samping meja.
Tangan besar Taehyung bergerak dengan cepat untuk mengambil sumpit dan mencomot potongan besar di dalam cawan kecil. "Kalian dari mana?"
"Busan, mengantar Hyera."
Taehyung mengangkat kedua alis dan membentuk rongga bulat di bibir lebarnya, mulutnya sibuk mengunyah potongan besar itu dengan kepayahan- sambil sesekali mengaduh kepanasan.
"Besok aku akan ke Jepang, Hyung. Ada proyek di sana."
"Jepang?" Hyera membelakakan mata, sontak membuat kedua lelaki itu menoleh dengan raut wajah terkejut, sedari tadi Hyera memang hanya diam, menyimak semua percakapan kedua lelaki besar di sisinya, dan menikmati semangkuk ramen yang hanya tersisa beberapa suapan.
"Iya, kenapa? Tertarik dengan Jepang?" Taehyung tersenyum dan menatap Hyera, sorot matanya bahkan tampak sangat bersahabat- keduanya semakin akrab. Dalam sekon selanjutnya, Taehyung telah beralih menatap ponselnya yang berdering dan segera beranjak pergi sebelum Hyera sempat membuka kembali mulutnya.
"Hyung, aku pergi dulu ya? Ada urusan. Dah, Hyera." Lelaki dengan celana kedodoran itu berlari, setelah sebelumnya meraup selada dengan beberapa potong daging- kemudian menghilang di balik pintu depan.
"Bunga di sana pasti sangat indah." Selera makan wanita itu menjadi berkurang, tangannya hanya menusuk-nusuk lobak di atas mangkuk- bibirnya tersenyum kecut.
"Sama saja, di Korea juga tidak kalah indah." Seokjin menimpali, tangannya masih terfokus untuk memotong daging yang masih tersisa separuh piring, lelaki itu tampak sangat kelaparan.
"Seokjin-ah, ayo pergi ke Jepang."
Gunting yang melibgkar di kedua jari tangan lelaki itu berhenti mengoyak seonggok daging segar berwarna merah yang menggiurkan, netranya bergerak ke kanan dan kiri sebanyak empat kali- dan melepas gunting di tangannya, manik mata lelaki itu menatap Hyera dan tersenyum canggung.
"Ayo pulang, kita bicarakan di mobil." Lelaki itu beringsut bangkit dan menggamit lembut lengan Hyera, tatapan matanya nampak menakutkan dan aneh, langkahnya memburu hingga membuat Hyera sedikit kewalahan namun dia berusaha untuk mengimbanginya dalam diam.
"Katamu, kau ingin di sini saja asalkan bersamaku?" Seokjin mencoba tersenyum, tangannya bergerak untuk meraih dan melingkarkan sabuk pengaman ke tubuh wanita itu.
"Kan, kau yang mengajakku berlibur?"
"Ayo kemana saja selain Jepang, ya?"
"Tapi, aku ingin pergi ke Jepang."
"Hyera, tolong." Dengan raut wajah memelas dan memohon, Seokjin masih menggenggam jemari wanita itu.
"Ya sudah, mending tidak usah. Tidak usah membuat kenangan di musim semi."
Seokjin menghela napas, matanya memejam, lalu kedua tangannya terkepal, menggengam ruang kosong di antara telapaknya di atas setir dan menggigit bibir bawah, tonjolan di lehernya bergerak naik turun dengan cepat seiring dengan rahangnya yang mulai mengejang.
"Baiklah kita ke Jepang, namun aku yang memilih destinasinya."
"Tapi aku ingin memilih satu tempat yang ingin sekali aku datangi." Hyera mulai luluh dan melunak, dan netranya menatap ke dalam manik mata Seokjin- membuatnya termangu, tatapan mata Hyera selalu memiliki daya magis yang kuat hingga membuat Seokjin luluh dalam sekejap.
Seokjin menggaruk rambutnya yang tidak gatal, raut wajah Hyera yang seperti anjing pudel menggemaskan itu telah membuatnya kewalahan, lebih tepatnya, hatinya yang kewalahan untuk menolak permintaan dari wanita yang sekarang malah terlihat seperti ingin menangis.
Lelaki itu mengusap dengan gemas pucuk kepala Hyera. Jika bisa, dia bahkan ingin menggigit setiap inci tubuh wanita dengan wajah yang membuat jantungnya berdenyut lebih kentara, "Ya sudah, kau boleh memilih satu, jangan memasang wajah seperti itu lagi, aku jadi ingin menerkammu saat ini juga."
"Setuju, terimakasih Sayang." Hyera mengecup lembut sisi kanan pipi lelaki itu, senyuman lebar terlukis di bilah bibir merah itu, membuat Seokjin kelimpungan- sebab tidak bisa lebih lama lagi menahan gejolak untuk memagut wanita di sisinya ini.
"Hyera-ya."
"Hm?"
"Aku ingin sesuatu darimu di rumah nanti."
"Apa?"
Seokjin menyeringai, wajahnya di majukan beberapa jengkal hingga hidungnya nyaris menyentuh hidung lawannya, "Melakukan sesuatu yang ada di pikiranku."[]
KAMU SEDANG MEMBACA
PRICELESS | KSJ ✔️
FanfictionCOMPLETED Kim Seok Jin terpaksa jatuh pada pilihan-pilihan rumit yang mengharuskannya memilih satu takdir yang pantas digenggam. Kembali memutar ulang ingatan jangka panjang tentang wanita yang pernah singgah hingga mengabur karena cinta yang...