Langkah kaki yang memiliki irama cepat beradu dengan keramik putih di sebuah lorong yang lengang hingga sanggup menciptakan gema hingga ujungnya, bau karbol menyengat hingga ke pangkal hidung, napasnya memburu, keringat terlihat mengucur deras dari kening kulit kecokelatan dari seorang lelaki dengan setelan jas hitam dan dasi yang terikat sembarangan.
Pintu salah satu ruangan di lorong senyap terbuka, menampakkan seorang wanita dengan wajah yang berantakan, matanya bengkak, rambut hitamnya mencuat di sisi kanan dan kiri— sedang tangannya terkepal kuat dan berpangku pada paha dengan cukup gemetar.
"Seokjin-ah."
Seokjin maju beberapa langkah hingga dapat menggapai sorot mata wanita yang tengah meminta untuk direngkuh, tangannya mengudara dan membawa wanita itu berdiri, lalu beralih untuk menghapus air yang mulai keluar kembali dari iris kelamnya.
"Tidak apa, dia baik-baik saja, jangan khawatir."
Raut kelegaan tergambar dengan jelas di roman wajah wanita dengan balutan syal biru safir, tubuhnya hampir saja ambruk jika kedua lengan Jin tidak langsung menyapa pinggangnya.
"Ayo makan dulu, kau belum makan dari pagi."
"Tidak, aku di sini saja. Menjaganya."
Seokjin berdecak, lalu menarik satu tangan wanita itu dengan tenaga yang cukup besar agar tidak ada celah untuk meronta yang akan keluar dari bilah bibir itu. "Aku tidak mau ibunya juga sakit."
Akhirnya, Sheera hanya menurut, tenaganya terlalu lemah jika harus melawan dengan memukul atau mencubit di pinggang lelaki itu saat ini,
Jadi— mereka di sini, di ruangan besar dengan atmosfer yang tenang, jam besar di dinding menunjuk tepat pada angka 11, ditemani dua mangkuk ramen dengan asap yang mengepul dan dua gelas susu hangat di sisinya.
"Sudah mengabari ibu?"
Sheera menggeleng, ibu jarinya digunakan untuk mengusap sudut bibir yang terkena cipratan kuah merah mie di depannya. "Aku, belum berani."
"Sudah kukatakan aku akan menemanimu menemuinya."
Sheera berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Nanti aku hubungi."
"Kau harus meneleponnya di depanku, setelah ini— setelah kita bawa Sora pulang." Mata Seokjin masih terlihat mengintimidasi wanita tak berdaya di depannya.
Lagi-lagi wanita itu hanya menggangguk, lalu bertanya dengan ragu. "Maaf ya, jadi merepotkanmu."
Seokjin mendengus kasar, ini sudah keberapa kalinya Sheera mengeluarkan kata maaf terus menerus, dan lelaki itu sudah cukup bosan mendengar seluruhnya. "Sudah ku-katakan, aku tidak merasa direpotkan."
"Kalau saja aku lebih berhati-hati menjaganya, pasti—" jari telunjuk besar terasa menempel pada bibir lembab yang membuat wanita itu menghentikan perkataannya.
"Sudah, kata dokter juga kan tidak apa-apa, Sora hanya terkejut saja."
"Iya." Bayangan mengerikan tentang anak kecil yang terjatuh dari tangga dengan debum yang cukup keras terus menerus memenuhi rongga pikiran, menciptakan sebongkah bola salju besar yang tengah menghantam dengan keras isi kepalanya hingga pening.
"Ayo, ku antar pulang, kau belum melihat rumah barumu, kan?
Sheera hanya menurut, tangan mungil gadis kecil yang terlindung dengan sempurna pada lengan kekar Seokjin membuat wanita itu menarik kedua sudut bibir.
Kim Seok Jin semakin tampan sejak terakhir kali mereka bertemu, badannya masih kekar, bahunya masih selebar samudera pasifik. Tampaknya sudah sangat cocok menjadi calon ayah untuk Sora, namun itu semua hanya bisa terjadi di dalam mimpi Sheera— sepertinya.
Partisi berwarna abu menyambut kedatangan mereka di sebuah flat besar di tempat yang agak jauh dari hiruk pikuk kota, ruangan yang apik dan pemandangan yang cukup cantik, membuat Sheera melebarkan bola mata tanda kagum.
"Bersihkan dulu dirimu, perjalanan dari Jepang ke Seoul pasti sangat melelahkan." Seokjin membawa Sora yang masih tertidur ke dalam kamar, lantas menghilang di baliknya.
Sheera mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ini adalah tata ruang khas minimalis yang disukai oleh mantan kekasihnya, kegemaran Seokjin sama sekali belum berubah.
Bau harum daging mengurai bersama udara di seluas ruangan besar dengan dua kamar itu, dua piring daging dengan saus hitam kental di atasnya mengundang perut untuk segera berbunyi dengan nyaring.
"Sora masih tidur, ayo makan dulu."
Dengan cukup ragu, kaki kecil wanita itu melangkah ke arah lelaki dengan celemek biru dan kemeja putih yang lengannya telah terangkat sebatas siku, aroma keringat dan musk yang membaur bersama udara mulai menembus pangkal hidung.
"Ternyata kau masih pintar memasak."
Seokjin terkekeh, "Aku tidak percaya kau masih mengingatnya."
"Bagaimana bisa aku melupakan masakanmu, Jin-ah." Sheera bersiap melahap sebuah potongan daging besar jika saja Seokjin tidak membuka mulutnya.
"Tapi kau melupakanku."
Atmosfernya berubah canggung, hanya hembusan angin lembut yang terdengar di masing-masing ambang telinga.
Lama mereka terdiam, memang benar, jika seseorang mempunyai banyak pertanyaan di kepala dan tiba waktu untuk mengatakannya, akan semakin sulit semuanya untuk dikeluarkan, seperti waktu yang berhenti pada titik tak terhingga— ya itulah mereka sekarang.
"Maafkan aku."
Seokjin membanting pisau di tangan hingga bunyinya nyaris membuat seisi ruangan menjadi remuk, lelaki itu menatap Sheera frustasi, permintaan maaf yang terus keluar dari bilah bibir merah itu seakan ingin ditelannya bulat-bulat, sorot matanya menatap Sheera tajam seakan ingin langsung membekap gadis itu lewat bibirnya.
"Aku benar-benar akan mencium-mu jika mendengar satu kata maaf lagi."
Sheera terhenyak, menatap Seokjin yang emosinya perlahan turun, wanita itu bahkan tidak keberatan jika Seokjin benar-benar menciumnya, ada rindu yang meminta disalurkan lewat bibir yang beradu. Entah bibir tebal itu telah menjadi milik orang lain atau masih menjadi miliknya.
"Aku pulang dulu, besok aku datang lagi." Seokjin bersiap mengambil jas hitam yang tergantung di punggung meja dan merapikan diri di depan cermin besar sudut ruangan, membenarkan penampilan untuk menyambut rumahnya— rumah ternyamannya.
Satu genggaman lembut bersarang tepat pada lengan hingga membuat lelaki itu berbalik dan mendapati Sheera berdiri dengan sangat manis dengan mata sayu yang berair.
"Jangan pergi, Seokjin-ah." Ucapan lirih itu nampaknya sanggup membuat Seokjin kehilangan kesadarannya malam itu, tentang malam-malam penuh kenangan yang pernah ia lalui bersama wanita yang kini tengah menatapnya dengan melas, ataupun malam-malam indah yang sedang ia lalui dengan wanita yang sekarang tengah membuatnya jatuh cinta berkali-kali.
Namun, seberapa-pun pikirannya menolak untuk tinggal, hatinya tidak bisa berbohong. Jadi, Seokjin hanya berbalik dan menurut pada siapa yang berada di depannya, menggenggam tangannya dengan lembut, menuntunnya untuk masuk ke dalam kenangan masa lalu.
"Mau ku buatkan kopi panas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PRICELESS | KSJ ✔️
FanfictionCOMPLETED Kim Seok Jin terpaksa jatuh pada pilihan-pilihan rumit yang mengharuskannya memilih satu takdir yang pantas digenggam. Kembali memutar ulang ingatan jangka panjang tentang wanita yang pernah singgah hingga mengabur karena cinta yang...