Aku segera menuju ke dimensi tersebut. 'Teman-teman, kuharap kalian baik-baik saja' begitulah harapanku. Aku terus mencari dimana gerbang dimensi tersebut. Namun, tak kunjung kutemui.
"Apa yang sedang kau cari?" tanya Linda.
"Aku mencari jalan menuju dimensi lain," jawabku.
"Dimensi lain? Dimensi apa yang kau maksud?" tanya Linda.
"Teman-temanku dijebak oleh para Elite Angel, mereka membuka sebuah dimensi dan menjebak mereka agar masuk kedalam," jelasku.
"Ohh, dimensi itu. Aku bisa mengantarkanmu kesana," Linda memutar kedua tangannya searah dengan arah jarum jam. Terlihat sebuah retakan di udara kosong, retakannya semakin membesar seiring waktu. Hingga akhirnya aku melihat pertaraungan antara Ray dan Bodus.
"Ray!" teriakku.
Ray sama sekali tidak berpaling, aku memanggilnya lagi, "Ray!!" namun ia tetap tidak menanggapiku. Aku mengamati sekitar. Ochapius, Lux, dan Aigometh terkapar tak berdaya. Namun, yang paling membuatku kaget, Eve. Dia berlumuran darah, apalagi tubuhnya sudah tidak utuh lagi.
"Apa..." wajahku pucat. "yang sebenarnya terjadi?" aku belum dapat mencerna kejadian ini.
"Kuro, tenanglah," Linda menenangkanku.
"Kenapa, kenapa, bagaimana ini bisa terjadi?" aku benar-benar tak mempercaiyai ini.
Ray masih mengamuk, dia terus menghajar Bodus habis-habisan. Semakin lama, kekuatan Ray semakin menurun. Ia mulai kehabisan tenaga. Di serangan terakhirnya, Ray mengeluarkan sihir dari tongkat Black Hat milik Eve. Kekuatannya sangat besar, namun masih belum mampu membunuh Bodus. Bodus justru dapat menahannya dengan mudah. Ray terkapar tak berdaya, ia benar-benar tak sadarkan diri.
"Rayy!!" teriakku.
"Kuro, cepat selamatkan dia, aku akan menyelamatkan anggota kita yang lainnya," ucap Linda.
"Baiklah," jawabku tegas seraya meloncat dan segera menghadang Bodus yang hampir saja membunuh Ray.
"Heeeh," wajah Bodus terlihat kecewa. "Jadi, kau yang akan menjadi lawanku? Dasar prajurit lemah," dia mengejekku.
"Lemah? Kau kira aku lemah? Dalam mimpimuu!!" secara spontan aku segera menghunuskan senjataku padanya.
Seranganku dapat dihindarinya dengan sangat mudah, benar-benar musuh yang bukan tandinganku. Bum! Dia mengarahkan pukulan padaku. Pukulannya telak mengenai wajahku. Aku benar-benar tak dapat melakukan apapun, dia lebih hebat daripada guru olahragaku yang paling atletis. Langkah kakinya lembut sekali, selembut penari balet. Gerakannya juga indah, bagaikan penari Jawa. Kekuatannya juga menakjubkan, bagaikan juara karate dunia.
"Yang benar saja, bagaimana bisa aku mengalahkan orang yang seperti itu. Bodoh, bodoh, aku benar-benar bodoh. Jika saja... jika saja... jika saja aku punya kekuatan lebih, aku pasti bisa mengalahkan mereka," gumamku.
'Bodoh... bagaimana bisa kau sebodoh itu. Kekuatan, kekuatan adalah hal yang dapat didapatkan dengan mudah. Namun, pengetahuan didapatkan melalui perjalanan yang panjang. Bahkan ketika kau bertemu orang sekuat dewa. Jika kau memliki pengetahuan yang luas, kau dapat mengalahkan dewa tersebut. Jangan anggap kekuatan adalah segalanya, dasar cucu payah'
Aku mendengar seseorang berbisik padaku, dan dia juga memanggilku cucu. Apakah dia kakekku? Aku belum dapat memastikannya. Namun yang pasti, dia memberitahuku bahwa kekuatan bukanlah segalanya. Aku hanya perlu mencari tahu kelemahannya.
Bum! Bum! Bum! Berkali-kali aku kena pukulannya. Namun, semakin lama pukulannya semakin melemah. Dia sepertinya kehilangan energinya. Aku mencoba menyerangnya lagi. Dia melemparkan cakramnya padaku, kekuatan lemparannya masih sangat kuat. Jadi, dia tidak kehilangan energinya. Lantas kenapa kekuatan ukulannya melemah?
Seiring waktu, kekuatan melempar cakramnya juga menurun. Dari situ aku menyimpulkan bahwa ia semakin sering menggunakan jurus yang sama, maka jurus tersebut akan semakin melemah, pengendaliannya semakin tidak stabil.
Aku terus berusaha agar ia mengeluarkan jurus yang sama secara terus menerus. Dia terus melemparkan cakramnya padaku. Semakin lama, lemparannya semakin melemah. Seketika aku melihat peluang. Cakram itu kuraih dan kulemparkan kembali kepadanya. Meskipun tidak terlalu kuat, namun, lemparanku membuatnya terluka.
Dia terus mengeluarkan celah-celah yang membuatku semakin leluasa untuk melancarkan serangan. Bodus sudah tidak dapat berdiri lagi. Kakinya terluka parah, ia sudah tidak dapat memegang cakramnya lagi. Aku tepat berada di hadapannya, kuangkat pedangku dan bersiap untuk memotong kepalanya. Bodus berusaha untuk terus berlari, namun kakinya sudah tak kuat lagi. Aku mulai mengayunkan pedangku.
Sriing! Tepat didepanku, Cardosh menahan pedangku dengan tanganya. Tidak ada goresan sedikitpun ketika ia menahan pedangku. Aku segera refleks meloncat mundur, menjauh darinya. Tanpa ada jeda untuk memikirkan strategi. Cardosh sudah berada tepat di depan mataku. Cardosh meluncurkan pukulannya padaku
"Siaaal!" aku tak dapat menghindarinya, aku hanya bertahan dengan menyilangkan kedua tanganku. Meskipun begitu, pukulannya masih terasa sangat menyakitkan. Tanganku lebam, dan mati rasa.
"Sekarang, pergilah kau dari sini dan jangan pernah menginjakkan kakimu disini lagi," Cardosh mengarahkan tangannya padaku. "World Change," dia memegang tubuhku. "Black Hole," tiba-tiba, terbuka sebuah lubang lain di dimensi tersebut. Dia melemparku ke arah lubang hitam itu. Aku berusaha untuk melawan, namun semuanya sia-sia. Aku tak dapat bergerak.
"Enyahlah kau dari sini," Cardosh melemparku ke lubang tersebut.
Aku berusaha untuk berteriak, namun tenggorokanku tidak dapat mengeluarkan suara sedikitpun. Aku benar-benar dalam masalah. Linda sedang menghadapi anggota Seven Deadly Sins yang lain sedangkan yang lainnya terluka parah.
Aku terperangkap dalam lubang hitam itu. Disini benar-benar gelap, kosong, dan tidak ada siapapun, mungkin. Aku merasa seperti diasingkan. Lubang dimensinya juga mulai mengecil. Aku sudah tidak dapat keluar lagi.
"Zero... Zero..." aku mendengar ada suara seseorang memanggilku. Suaranya semakin lama semakin terdengar besar, pertanda bahwa ia semakin dekat. "ZERO... ZERO... Kenapa kau berada di sini?" seketika ada seorang wanita dari belakang memelukku. Tentu saja aku segera refleks menjauhinya.
"A...aapa yang kau lakukan?" ucapku agar tergugup-gugup.
"Ehhh," dia membuat wajah yang lucu. Pipinya di tembemkan dan ekspresinya begitu lucu. "bagaimana bisa kau tidak mengingat namaku? Padahal aku dulu adalah ibumu,"
"Ibu?" aku belum paham alur dari kejadian ini. Ibu? Aku saja tidak pernah bertemu dengan ibuku sejak setelah lahir. "Apa benar kau ibuku?" tanyaku seraya memastikan.
"Tentu saja. Coba saja kau lihat luka di perutmu itu," aku segera membuka bajuku dan melihatnya. Benar sekali, disana ada luka. Luka bukan dari goresan pedang maupun lebam terkena pukulan. Namun, ini adalah luka seperti terkena air panas.
"Apa ini? Sepertinya aku belum pernah melihatnya," ucapku sedikit ragu.
"Itu adalah luka yang pernah kuberikan padamu dulu sewaktu masih bayi. Luka itu tidak terlihat dalam terang, namun terlihat di kegelapan seperti sekarang ini." jelasnya.
"Ibu?? Jadi itu benar-benar kamu? Aku sungguh tidak mempercayai ini," aku sunnguh bahagia. Air mataku menetes dari mata kanan terlebih dahulu, itu menandakan air mata kebahagiaan.
"Namaku Sylviana Kuro, dan aku adalah ibumu," ucap Ibuku.
"Ibuuu... namamu indah sekali. Aku tak percaya dapat bertemu denganmu sekarang ini," aku masih belum bisa menghilangkan rasa bahagia ini. "Ibu... aku pulang,"
"Selamat datang kembali. Zero," senyumannya yang begitu manis. Aku tak mau kehilangannya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Clover
FantasyBercerita tentang seorang remaja yang dari kecil suka membaca buku. Dia bertemu dengan seorang pria yang memberikan sebuah 'tiket' untuk masuk ke perpustakaan. Namun, tak disangka, ternyata ia malah masuk ke dunia lain. Disana ia harus membuat perda...