Second Impression

6.1K 787 18
                                    

Jisoo turun dari bus lalu berlari dengan cepat menuju rumah sakit begitu ia mendengar kabar tentang kecelakaan yang menimpa Tiffany. Dadanya bergemuruh. Perasaannya bercampur aduk antara takut, sedih, dan letih. Kebiasaan merokok benar-benar membuatnya mudah kelelahan saat harus berlari seperti ini. Seharusnya ia menaiki taksi. Tapi sialnya dia tidak punya uang tunai yang cukup di dompetnya. Seharusnya dia menerima tawaran minum gratis dari Mino tadi.

Percuma menyesal, Jisoo harus tiba di rumah sakit secepat yang ia bisa. Ia langsung mencari di mana ruang IGD berada dan yang pertama kali terjadi padanya adalah ia justru diam membeku.

Dia berhenti bukan karena terlalu lelah, tapi karena tiba-tiba saja banyak kenangan yang mendobrak memori ingatannya dan memaksa untuk keluar.

Jisoo benci rumah sakit, dan ia lupa akan hal itu.

Jisoo mendecih kesal. Dia tidak boleh seperti ini sekarang. Tiffany berada tak jauh darinya dan akan sangat lucu sekali jika dia tidak melihat keadaan tantenya setelah tiba di sini. Tapi kakinya seakan enggan untuk melangkah. Tangannya mendadak gemetar. Rasanya seperti kembali ke masa kecilnya dulu.

"Jisoo..."

Jisoo membuang nafas perlahan sebelum berbalik dan menemukan Myungsoo berdiri tak jauh darinya.

"Tante Tiffany masih di IGD," katanya memberitahu.

"Parah?" tanya Jisoo khawatir.

"Belum tau, masih dicek sama Sehun," jawabnya.

"Sehun?" tanya Jisoo bingung.

"Temen gue yang tadi datang ke nikahan. Dia dokter. Kebetulan dapat shift malam," jelas Myungsoo.

"Oohh..." Jisoo mengangguk mengerti.

Dongwan, ayahnya Myungsoo dan Jisoo kemudian datang menghampiri mereka untuk mengabarkan kondisi terakhir Tiffany.

"Tiffany butuh donor darah. Tapi stok golongan darahnya lagi kosong," katanya cemas.

Jisoo tidak bisa lebih khawatir lagi dari ini. Kondisi Tiffany akan gawat jika dia tidak menerima donor sesegera mungkin.

"Golongan darah aku sama Tante Tiffany sama, Pa. Biar aku aja yang donor," saran Jisoo.

Dongwan baru saja ingin merespon saat Myungsoo memotongnya.

"Nggak setuju gue. Lo aja ngerokok. Nggak sehat entar darah yang masuk ke tubuh Tante Tiffany!"

Jisoo terdiam. Dia memang sudah sering berdebat dengan Myungsoo saat mereka masih remaja. Tapi Jisoo tidak menyangka mereka akan tetap seperti ini bahkan setelah dewasa.

"Myungsoo..." tegur Dongwan.

"Kita coba tanya aja dulu yang lain, Pa. Nggak mungkin nggak ada yang sama golongan darahnya sama Tante Tiffany," ajak Myungsoo yang kemudian berjalan kembali menuju IGD.

Dongwan pun menyusul Myungsoo tanpa mengajak Jisoo ikut bersamanya. Jisoo menggigit bibir bawahnya dan menggeram pelan. Tapi tak ada yang bisa dia lakukan jika ayah atau kakaknya tidak mengizinkannya.

Ia pun pergi keluar menuju taman dan menyalakan sebatang rokok. Pikirannya benar-benar ruwet. Rasanya hatinya seperti ingin meledak karena terlalu banyak perasaan yang berkecamuk di sana.

Jisoo mencoba menenangkan diri dengan memejamkan mata. Lalu tanpa sadar, seseorang meraih rokok dari selipan jarinya yang membuatnya kontan tersentak.

"Lo harus donor sebentar lagi. Jadi jangan ngerokok dulu."

Mata Jisoo mengerjap melihat seorang pria yang kini berdiri di depannya. Wajahnya tampak familiar. Ia kemudian ingat bahwa pria ini adalah salah satu dari groomsman yang tadi hadir di pernikahan. Dan Jisoo masih ingat nama yang disebutkan Myungsoo barusan.

"Sehun?" tanyanya memastikan.

Pria itu mengangguk. "Ayok, ikut gue! Lo harus jalani beberapa tes dulu."

Sehun mulai melangkah dan Jisoo mengikutinya.

"Tapi Myungsoo nggak ngizinin gue buat donor," kata Jisoo yang coba mensejajarkan langkahnya dengan Sehun.

"Pasien lagi kritis. Kita nggak punya banyak waktu buat mikir. Harus segera bertindak," jelas Sehun.

Jisoo terkejut. "Tante Tiffany kritis?" Ia sudah ingin menangis sekarang.

Sehun bisa menyadari perubahan suara Jisoo yang mendadak bergetar saat menanyakan hal tersebut. Ia cukup takjub karena awalnya mengira Jisoo adalah wanita yang masa bodo pada keadaan orang lain. Gaya yang fierce dan juga kebiasaan merokoknya membuat Sehun dan teman-temannya yang berada di bar sebelumnya mengira hal yang tidak-tidak tentang Jisoo.

Tapi yang sekarang Sehun lihat adalah seorang wanita yang takut terjadi hal buruk pada ibunya seperti seorang gadis kecil.

"Mudah-mudahan setelah donor keadaannya membaik," Sehun coba menenangkan.

Dan cara itu sepertinya ampuh karena Jisoo mulai tenang dan menjalani tes seperti yang dikatakan oleh Sehun sebelumnya.

...

Jisoo sudah tak tahan lagi. Bau rumah sakit benar-benar membuatnya pusing. Ia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali menginjakkan kaki di tempat yang penuh dengan kenangan buruk tersebut. Ia langsung keluar setelah mendengar kabar bahwa kondisi Tiffany sudah membaik dan akan siuman dalam waktu dekat.

Saat menunggu, Jisoo mendengar cerita dari omnya bahwa setelah kembali dari resepsi pernikahan Myungsoo, mereka ingin makan malam berdua di sebuah restoran. Begitu sampai, Tiffany ingin membeli sesuatu terlebih dahulu di mart. Saat menyeberang ia ditabrak oleh sebuah mobil yang mengalami masalah pada remnya. Peristiwa itu terjadi begitu saja. Membuat kepala Jisoo semakin pusing saat membayangkan kejadiannya.

Tangannya masih bergetar saat menyalakan pemantik untuk membakar rokoknya. Jisoo perlu menenangkan diri. Semua hal yang terjadi hari ini benar-benar menguras tenaganya.

"Lo nggak apa-apa?"

Jisoo mengalihkan pandangan dari rokok yang belum juga bisa ia nyalakan karena angin terus saja memadamkan api dari pemantiknya.

"Hah?"

Sehun menghela nafas sebelum duduk di samping Jisoo.

"Lo nggak sadar tangan lo tremor?" tanya Sehun lagi.

Jisoo memperhatikan kedua tangannya. "Gue baik-baik aja."

"Yakin? Mau dicek, nggak? Kadang ada beberapa efek terjadi setelah donor darah bagi yang nggak biasa," jelas Sehun.

Untuk membayangkan masuk lagi ke rumah sakit saja sudah membuat Jisoo merasa mual. Dia tidak sanggup jika harus menghirup aroma aneh yang membuatnya tak enak badan tersebut. Entahlah kalau besok. Yang pasti saat ini Jisoo benar-benar tidak ingin melakukannya.

"Beneran, kok, nggak apa-apa. Cuma butuh rokok aja," tolak Jisoo seraya menunjukkan rokok yang ia pegang kepada Sehun.

Karena Sehun tidak membalas ucapannya lagi, Jisoo pun kembali mencoba menyalakan rokoknya dan berhasil. Ia tau seharusnya berpindah tempat agar asap tidak mengenai Sehun. Namun kakinya terlalu lemas bahkan hanya untuk berdiri.

"Lo udah bisa pergi. Lo kemari cuma mau ngecek keadaan gue aja, kan?" tanya Jisoo tanpa niat mengusir Sehun. Dia hanya tidak ingin Sehun menjadi perokok pasif.

Sehun mengangguk paham. Sepertinya Jisoo memang sedang ingin sendirian. Dia juga harus lanjut bekerja. Maka setelah itu, Sehun pergi begitu saja meninggalkan Jisoo tanpa mengucapkan apapun.

Jisoo menghela nafas dan bersandar. Harusnya sejak awal dia tidak usah kembali ke sini. Karena ternyata tidak ada satupun yang berubah sejak kepergiannya delapan tahun yang lalu.

Semuanya masih sama saja.

Ayahnya, kakaknya, dirinya...

Ibu tirinya dan Jennie, anak dari ayah kandung dan ibu tirinya.

TBC

Personal Preference | HunSooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang