Wajah miris Sehun terlihat begitu kentara saat suara tanda sandi pintu masuk berhasil terbuka menyala. Niatnya ia tidak ingin membangunkan siapapun malam ini. Waktu sudah merangkak menuju jam satu dini hari saat ia tiba di apartemennya.
Harusnya ia sudah tiba di rumah jam sembilan malam, namun ada seorang pasien kecelakaan yang sedang kritis dan butuh dioperasi segera. Sehun pun mengambil peran itu karena bagaimanapun itulah tugasnya sebagai seorang dokter.
Sehun sudah memberitahukannya kepada Jisoo dan istrinya bilang tidak ada masalah. Jisoo memang selalu mendukung semua yang ia lakukan selama itu baik.
Dengan perlahan, Sehun menutup pintu agar tak menimbulkan suara lebih besar. Apartemen tampak hening. Pasti Jisoo dan Jihoon sudah tidur. Ia melangkah mengendap-endap menuju kamar dengan penerangan seadanya dan tidak mengetahui bahwa mainan Jihoon masih berserakan di atas lantai. Tanpa sengaja, Sehun menginjak salah satu biji Lego hingga ia memekik sekejap lalu kemudian menutup rapat mulutnya.
Jisoo membuka pintu kamar dan menemukan Sehun yang sedang kesakitan. Satu tangannya menutup mulutnya sedangkan tangan yang satunya memegangi kakinya.
"Pfft..." Jisoo menahan tawa semampu yang ia bisa.
"Jihoon?" gumam Sehun tanpa suara.
"Udah tidur," jawab Jisoo yang juga tanpa suara lalu memberi isyarat. Ia kemudian menghampiri Sehun dan memapahnya pelan-pelan ke dalam kamar.
Setelah mandi, Sehun berbaring di ranjang dan Jisoo akan menyanyikan lullaby seraya membelai pelan rambutnya hingga ia tertidur. Jisoo menggunakan cara yang sama untuk menidurkan Jihoon. Well, Jihoon adalah bayi kecil dan Sehun adalah bayi besar baginya.
Di malam yang lain saat pulang lebih awal, Sehun suka memangku Jihoon dan membacakan cerita untuknya. Seringnya tentang pekerjaannya sebagai seorang dokter.
"Aku mau jadi dokter juga kayak Papa," kata Jihoon.
Sehun sedikit terkesima ketika mendengar putranya menyebutkan cita-citanya yang ingin jadi seperti dirinya.
"Kamu tau, di keluarga Papa cuma Papa yang jadi dokter."
"Kalo gitu Jihoon bisa jadi dokter juga, nggak, Pa?" tanya Jihoon dengan polos.
Sehun tersenyum lalu mengelus kepala putranya yang masih berusia empat tahun itu.
"Pasti bisa kalo kamu punya niat yang besar. Tapi, Papa sama Mama nggak akan maksa kamu untuk harus jadi dokter juga. Kamu boleh jadi apa aja yang kamu mau, asal itu baik buat kamu."
Jisoo memperhatikan suami dan putranya dari ambang pintu. Bahagia bercampur haru menghinggapi hatinya malam itu.
"Jihoon bisa aja jadi dokter kayak aku, atau kuliah di Harvard kayak kamu. Atau dia bisa aja kuliah di tempat lain dan punya profesi beda sama aku."
Jisoo baru saja duduk setelah menyajikan teh dan kudapan saat Sehun berkata seperti itu. Jihoon sudah tidur dan malam belum terlalu larut untuk mereka berdua terlelap ke alam mimpi. Akhirnya mereka memutuskan untuk berbincang sejenak seraya minum teh.
"Yang lebih mainstream, Jihoon dikasih satu cabang perusahaan sama Papa buat dia urus."
Sehun tersedak tehnya lalu tertawa mendengar candaan Jisoo yang juga ikut tertawa. "Papa masih berusaha banget buat kasih beberapa asetnya ke kita."
"Papa nawarin ke kamu juga?" tanya Jisoo penasaran.
"Iya, kalo pas kebetulan cuma ngobrol berdua. Pasti yang dibahas soal itu," jawab Sehun yang kembali terkekeh.
Jisoo hanya bisa geleng-geleng kepala. "Kebanyakan duit, nggak tau lagi mau dibuang ke mana."
Tidak ada pertengkaran yang signifikan terjadi antara Sehun dan Jisoo. Sesekali mereka hanya berdebat kecil lalu akan kembali berbaikan kurang dari sepuluh menit. Jennie merasa iri jika mendengar hal itu, karena ia cukup sering bertengkar dengan Jongin meskipun tanggal pernikahan tinggal menghitung hari.
"Biasa itu, cobaan sebelum nikah. Sering berantem, ragu, mantan minta balikan, macemlah," jelas Jisoo.
"Iya, sih. Tapi, kan..." Jennie tak jadi melanjutkan ucapannya ketika melihat Jongin masuk ke dalam kafe tempat ia curhat dengan Jisoo.
"Ngapain?" tanyanya jutek.
"Gue tinggal lo berdua, ya," kata Jisoo yang direspon anggukan oleh Jongin.
Jongin kemudian duduk di kursi yang sebelumnya ditempati oleh Jisoo. Jennie memilih untuk membuang muka dan melihat ke luar kafe.
"Aku mau minta maaf," ucap Jongin.
Jennie masih bergeming.
Jongin menghela napas. "Aku mau kita baik-baik aja. Udah mau nikah juga, kan?"
Jennie menatap Jongin dengan tatapan yang belum menunjukkan keramahan. "Janji nggak ngajak ribut lagi?"
Jongin tersenyum lega. "Janji."
Akhirnya Jennie melunak dan ikut tersenyum.
...
Hari ini adalah hari yang istimewa. Jisoo sudah berpakaian rapi ketika membantu Sehun merapikan dasinya. Ia juga menata rambut suaminya agar terlihat berbeda dari kesehariannya. Setelah itu ia mendandani Jihoon sehingga menjadi seperti Sehun versi mini.
"Kayak anak kembar!" seru Jisoo ketika Sehun dan Jihoon duduk bersebelahan.
Sehun memberi isyarat high five kepada Jihoon yang segera disambut dan menimbulkan suara tepukan. Bocah itu sudah tumbuh semakin besar dan memahami banyak hal. Sebentar lagi ia juga akan memasuki dunia sekolah.
Keluarga kecil itu pun meninggalkan apartemen dan segera menuju tempat pertemuan dengan yang lain. Begitu sampai, semua orang sudah tiba dan mereka pun segera memasuki studio foto untuk foto keluarga.
Dongwan dan Bada duduk di tengah. Lalu Myungsoo, Jisoo, Jennie dan Bona berdiri di dekat mereka yang kemudian disusul oleh suami, istri, dan anak masing-masing. Karena Yujin dan Jihoon sudah cukup besar, maka mereka duduk mengapit kakek dan neneknya. Sedangkan bayi Bona dan Jennie masing-masing digendong oleh ayahnya.
"Baik, sudah siap?" tanya fotografer kepada mereka semua.
Semuanya tersenyum dan foto bahagia mereka pun berhasil diabadikan.
FIN
KAMU SEDANG MEMBACA
Personal Preference | HunSoo
Любовные романыHari pernikahan Myungsoo tampak lebih meriah dari yang seharusnya karena kehadiran Jisoo, adik perempuan Myungsoo selain Jennie. Hubungan yang canggung di antara mereka membuat teman-teman Myungsoo heran. Cerita ini dimulai oleh Sehun, yang sudah se...