4 - Hera

19.5K 2.4K 189
                                    


Jam tidurnya masih belum bisa menyesuaikan, hingga matahari setinggi ini ia masih belum juga mengantuk, bahkan segar lantaran menonton televisi yang acaranya tak jauh-jauh dari membuat orang tolol terkenal.

"Memangnya kamu itu kenapa sampai rusuknya patah?" tanya Eros dari area dapur yang hanya dipisahkan konter setinggi pinggul orang dewasa dengan ruang tengah. Selama masa pemulihan Sina akan tinggal di Jakarta, di bawah pengawasan Eros hingga batas waktu yang belum ditentukan.

"I told you already, ikut balap motor, terus sok selebrasi padahal kecepatan masih tinggi dan ..." Sina menunjukkan telapak tangannya yang dibolak-balik, menggambarkan dirinya yang terpental dari atas motor ke arena balap. Bahkan saat di pesawat Sina merasakan tekanan udara yang membuatnya meringis sepanjang perjalanan, kakinya yang mengalami retak kembali nyeri bukan main hingga harus didorong kursi roda untuk keluar dari bandara.

"Lalu Yumi itu? Bukannya dia baik, ya? Pacar idamanmu."

Eros ingat sekali seperti apa Sina menginginkan Yumi, menempel seperti lintah di setiap kesempatan hingga Yumi menyerah dan menerima cinta Sina, sayangnya seperti api besar yang lebih cepat melahap kayu dan mengubahnya menjadi arang, cinta Sina dan Yumi pun menggerogoti mereka lebih cepat dari yang mereka kira.

"No, Man, she is seriously good woman, cuma aku aja yang berengsek," ungkapnya santai sambil mengubah posisi berbaring di sofa panjang ketika Eros membawakan dada ayam panggang dengan salad dan empat potong roti bagel. "Seperti yang kamu bilang, cinta aja enggak cukup."

"Saya kira kamu bertengkar dan Yumi menghajarmu habis-habisan pakai stand mic." Pandangan Sina beralih dari wajah mengejek Eros ke layar televisi yang menampilkan dirinya di London berganti ke fotonya ketika Eros menjemput di bandara dan beralih pada foto semalam ketia ia mengganggu perjodohan Ursa. Mengingat kejadian itu lagi berhasil membuatnya menyengir lebar.

Ursa dengan rambut biru pepsinya, ekspresinya yang canggung, dan tingkah anehnya yang sebentar-sebentar terbengong sementara lawan bicaranya tak henti-hentinya bercerita, apa pun, bahkan soal gosip salah satu kenalan mereka. Hal itu membuatnya tertarik, apa yang kurang dari Ursa hingga dijodohkan dengan pria membosankan banyak omong itu?

"Cak, Ursa itu sudah berapa tahun jadi pasienmu?" tanyanya selagi menuangkan kopi ke cangkir kakak sepupunya yang kini sibuk membuka lampiran surel dari rumah sakit lain tentang kelainan tulang belakang seorang anak berusia lima tahun.

"Lima tahun," Eros terlalu sibuk pagi itu, pasien anak-anak selalu diutamakan olehnya hingga ia tak memperhatikan wajah Sina maupun foto Sina yang duduk mengganggu Ursa semalam.

"Sakit apa sih dia sampai lima tahun enggak sembuh-sembuh?"

"Banyak, tapi sekarang fokus ke spondyliosis-nya, cairan bantalan tulang belakangnya pecah jadi menekan saraf tulang belakangnya dan cakramnya mulai mengikis."

"Ho...." lama Sina memegang dagunya, mengangguk paham sambil memasukkan lagi potongan ayam ke mulutnya. "Jadi dia bukan kena penyakit serius yang buat dia sekarat, kan?" sebagai persetujuan, Eros hanya mengangkat kedua alisnya. "Dia tinggal di mana sih?"

"Siapa? Anne?"

Sina melirik ponsel Eros. "Enggak heran tiba-tiba nyambung ke Mbak Anne." Yang sedang dibaca oleh Eros bukan lagi info rekam jejak pasien barunya, melainkan serentetan perintah dari Anne yang berakhir dengan jawaban 'ya' singkat sebagai tanda mengerti.

Eros hanya menyengir. "Jadi, kenapa kamu tanya alamat Anne?"

Orang lain menilai Eros terlalu manut pada Anne hingga tak memiliki suara sendiri, namun bagi Sina yang telah mengenal Eros seumur hidup, menganggap bahwa persetujuan Eros pada setiap hal yang Anne ajukan bukanlah kepatuhan, melainkan kepraktisan. Pernah satu kali Sina bertanya apakah Eros baik-baik saja soal pertunangannya dengan Anne, dan Eros, yang pandai menutupi hati, hanya tersenyum sambil mengangguk, tak ada kalimat terucap bahwa kakaknya itu baik-baik saja.

URSA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang