3 - Menolak Untuk Tersedak

22K 2.5K 202
                                    

 zaitunnya digulung hingga batas siku dan di tangan kanannya memegang secangkir kopi yang masih mengepul, membuat ruang tengah yang biasanya beraroma citrus dan pinus bercampur aroma kental dari biji kopi sehabis digiling.

Sore itu di apartemennya, Eros berdiri di depan jendela ruang tengah yang menyuguhkan pemandangan Ibu Kota menjelang jam-jam keemasan. Tak ada musik, siara berita dari televisi, maupun orang lain yang menganggu sorenya. Hanya suara klakson yang saling bersahutan terdengar samar, memberitahu bahwa kemacetan hampir mencapai jam-jam puncaknya.

Rasanya setelah mendapat gangguan dari Sina, Ursa, dan Suster Dahlia, ia pantas mendapat sore yang tenang seperti sekarang. Kuat juga dokter spesialis anak yang tiap hari sudah khatam jeritan anak kecil yang menolak diperiksa dokter lantaran terlalu sering ditakuti 'kalau nakal disuntik Pak Dokter, lho', padahal dokter pun kalau tak butuh takkan menyuntik. Ibu-ibu sialan dengan kepentingan pribadinya.

Sambil menyesap kopinya perlahan, Eros mencoba memikirkan apa yang pantas ia berikan pada Ursa. Bukan, ini bukan perasaan suka seorang pria pada wanita, ini hanya hubungan antara dokter dan pasien, yakin Eros berkali-kali sebulan sebelum memutuskan untuk memberi Ursa ucapan selamat ulang tahun. Dan justru ia harus mengulang lagi proses seleksi barang untuk diberikan pada Ursa, ia kira obat pereda nyeri yang sudah menjadi penyambung nyawa Ursa dari hari ke hari lebih penting dari barang apa pun, ternyata ia salah.

Ursa adalah pasien di bawah umur empat puluh tahun pertamanya. Anak itu direkomendasikan oleh Dokter Irsyad yang kebetulan pensiun lantaran penyakit jantung. Jika kebanyakan pasien akan berteriak atau merintih sepanjang pengobatan, Ursa hanya diam, tak bicara, tak mengeluh, itu sebabnya ia selalu menjadi favorit bagi perawat maupun terapis di sini.

Saat itu Eros ingat, Ursa datang dengan rambut bob berwarna oranye mirip jus jeruk kemasan yang membuat perawat pria sibuk berdandan habis-habisan tiap kali melakukan kontrol. Mereka bahkan bertaruh siapa yang akan mendapatkan hati pasien dari kamar VVIP tersebut yang tentu saja berakhir dengan pukulan di kepala.

"Kerja!" tegur Eros saat itu.

Selain warna rambut yang nyentrik, tentu saja mata besar Ursa yang tak menunjukkan kegembiraan dan bibir kecilnya menjadi poin utama dalam wajah kecil Ursa. Ketimbang perempuan dengan wajah ceria, pria biasanya memilih pasangan dengan wajah sendu agar mereka terlihat jantan.

Eros mengusap tengkuk lantaran tak suka dengan pemikirannya sendiri. Bukan, bukan soal Ursa berwajah sendu, melainkan kenginannya.

Ia cukup tahu diri perbedaan umur mereka lumayan mencolok dan lagi ia tak diizinkan gegabah dalam hidupnya atau reputasi orangtuanya sebagai taruhan.

Perlahan matahari tenggelem, berganti sif dengan bulan yang masih enggan menampakkan diri di langit Jakarta. Warna oranye menghiasi cakrawala, waktunya pulang. Begitupun hatinya, waktunya pulang, selagi masih tahu jalan kembali.

***

Dikarenakan tak ada jawaban, Sina tergelak kembali, mengigit bibir bawahnya gemas melihat Ursa yang menyengir kaku dan pasangan kencannya yang memerah menahan amarah. Bagaimana rasanya dikenalkan pada orang yang lebih muda dan terlebih pekerja kantoran? Dalam sekali pandang pun Sina tahu bahwa Ursa bukan jenis orang yang bisa hidup monoton. Pasti membosankan!

Kalau begitu, malam ini ia akan berbaik hati dan menjadi penengah dalam perjodohan ini agar suasana tidak mati seperti ini. Sina mengangkat tangannya, hendak memanggil pelayan yang buru-buru dihentikan Ursa.

"Mau ngapain?" Ursa menahan tangan Sina yang hendak terangkat.

"Ya mau pesan makan dong." Sina sigap ingin melepaskan cengkeraman tangan Ursa dari pergelangan tangannya. Semenjak sampai di Jakarta ia belum menyantap apa pun kecuali sepotong roti krim keju saat menunggu gilirannya diperiksa tadi.

URSA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang