Tugas kelompok, begitu yang guru Kimia umumkan barusan. Membuat tabel priodik semenarik mungkin dan yang paling menarik akan dipajang di kelas. Satu pertanyaan: mengapa? Lalu apa gunanya tabel priodik yang diwajibkan dibawa oleh siswa setiap pelajaran Kimia? Lalu apa fungsinya hapalan? Lalu yang terpenting, mengapa harus berkelompok kalau sendirian saja bisa?
Ursa tidak mengerti.
Ia menaikkan alis kirinya ketika seluruh siswa ribut memilih kelompok mereka, merangkul orang yang menguntungkan dan menyisihkan orang yang tidak mereka sukai. Tugas kelompok, baik anggotanya ditentukan maupun menentukan sendiri, adalah kekejaman paling dasar di lembaga pendidikan yang tak orang lain sadari.
Sebagai anak yang paling terlambat masuk, Ursa hanya mendapati kursi paling pojok belakang, sedikit gelap dan membahayakan di musim hujan lantaran rawan nyamuk. Ia masih menatap lurus ke arah guru kimia mereka yang siang itu tampil dengan sanggul rapi dan baju dinas hijau kecokelatannya. Matanya sedikit berat dan kesadarannya perlahan mengurang seiring pengaruh obat yang semakin kuat.
Ah, masa iya harus ke UKS lagi? Keluh Ursa sambil mendongak, berusaha membangkitkan kesadarannya.
"Satu kelompok tiga orang dan jam pulang sekolah, Ketua Kelas," wanita itu menatap siswi dengan rambut hitam sepundak lebih sedikit yang tadi sibuk mengomel lantaran kelas yang gaduh, "serahin nama kelompok ke ruangan Ibu, ya, Shi."
"Oke, Bu!"
Sedari awal Ursa sudah meniatkan diri untuk mengerjakan tugas sendirian. Ia tak perlu repot mengumpulkan, hanya akan membuat segalanya rumit. Jadi, sepanjang jam istirahat ketika siswa lain sibuk mencari teman sekelompok yang bisa diandalkan, Ursa tetap di kursinya, membuka bekal makanan dan teh herbal hangat buatan ibunya.
Menu hari ini: chicken katsu dan saus teriyaki, salad kol dan wortel yang diiris tipis kemudian disiram mayonais, dan penutupnya adalah blueberry. Sesekali di tengah kunyahannya, Ursa memperhatikan keadaan kelas yang lebih berisik.
Dan kelompok itu memperhatikannya lagi. Dua orang siswi yang duduk berjajar di depannya. Meski asyik mengobrol, mereka sesekali melirik kursi tempat ia duduk, kemudian berbalik lagi dan berbisik. Gosip apa lagi sekarang? Perisakan di mulai dari satu kelompok, kan?
Ketika Ursa menyelesaikan makan siangnya yang menyisakan setumpuk blueberry dalam wadah plastik bulat belum terjamah, kelompok siswi yang semenjak dua hari lalu menatapnya kini berdiri dan mulai berjalan ke arah Ursa.
Oke, apa ini yang disebut perisakan? Apa dia akan kalah dengan perisak? Jika saja tubuhnya bisa berputar seperti sebelumnya, tentu kedua siswi ini akan dengan mudah ia buat terlentang menghadap langit-langit, tapi ia sadar betul berdiri di satu kaki amat beresiko untuknya.
Jadi, jika dirisak, apa yang biasanya diambil? Uang? Sayang sekali, Ursa tak pernah membawa uang tunai, kantongnya sekering kantong pegawai gaji UMR di pertengahan bulan. Makanan? Well, mungkin mereka menyukai blueberry atau teh herbal yang rasanya seperti jus kale bercampur pare. Jika ya, silakan saja, Ursa tak menolak.
Ursa mengenali salah satunya sebagai ketua kelas yang kalau bicara bisa mengalahkan panjang gerbong kereta Jabodetabek dan satunya lagi berambut bob sepertinya keturunan Tiongkok.
"Nama lo Ursa, kan?" tanya si ketua kelas yang punya ukuran pipi tak seimbang dengan berat badannya.
Ursa menjawab dengan anggukkan, jika mejanya ditampar, ia akan berakting terkejut kemudian pura-pura sakit agar dibawa keluar kelas.
"Gue Sashi," tambahnya kemudian menunjuk siswi dengan mata segaris yang duduk di kursinya sambil membuka tutup botol air mineral dengan susah payah, "Ini Rindang, panggil aja Lilin." Sashi menyenggol Rindang, membuat anak itu mengalihkan pandangannya dari botol mineral ke Sashi kemudian ke Ursa.

KAMU SEDANG MEMBACA
URSA [Terbit]
ChickLit[SUDAH TERBIT] Pada usia seperempat abad, menurut orang-orang, seharusnya berada di puncak vitalitasnya dan menghabiskan waktu di luar ruangan. Seharusnya jatuh cinta pada pria lajang yang bisa diajak menikah. Bukan bolak-balik rumah sakit lantaran...