Don't judge book by it's cover.
Begitu kata pepatah dan sayangnya tak selamanya benar. Memangnya apa lagi yang digunakan untuk menilai seseorang di pertemuan pertama kalau bukan penampilan luarnya? Itu mengapa kesan pertama sangat penting tak peduli ke depannya akan tak sesuai ekspektasi.
Begitu bertatap langsung dengan Anne, Ursa merasa dirinya mengkerut seperti jeruk yang terlalu lama disimpan di dalam lemari es. Anne sungguh bukan tandingannya. Ia ingin berjongkok di pojok ruangan dan menangis, ini adalah tamparan pertama sebagai seorang yang kikuk di lingkungan sosial dan mencoba memperluas pergaulannya kemudian bertemu dengan manusia seperti Anne.
Anne tak bercela, dari caranya terkejut dengan Eros yang menemuinya di tengah-tengah sesi, kemudian menatap Sina dan Ursa bergantian sebelum berdiri dengan senyum yang tak kalah terprogramnya dengan milik Eros.
"Hai," sapanya pada Eros dengan suara lembut dan keterkejutan yang berusaha disembunyikan, tangan kanannya terulur ketika Eros berjalan mendekat dan sentuhan tersebut terasa natural, termasuk ketika Eros menyambut Anne yang kini melingkarkan tangannya ke pinggul Anne. "Tumben, ada masalah?"
"Enggak kok, ketinggalan ini," Eros meraih map dengan logo rumah sakit di atasnya. "Kenapa ke sini?"
"Oh," Anne berbalik ke kursi tempat ia duduk barusan kemudian menyerahkan bingkisan dari restoran hotel terkenal di Jakarta Selatan. "Tadi aku makan siang sama dokter lain, katanya kamu lembur sampai malam, terus tetep masuk hari ini, jadi aku bawain makan siang biar kamu nggak lemes." Tangannya naik meraih lengan Eros, menekannya sedikit dan menempilkan wajah sedih. "Kamu kurus banget sih, Yang."
Dari kacamata Ursa, Eros terlihat santai dengan senyum ala dokternya dan mengangguk-angguk saja selama Anne bicara. Namun dari sudut pandang Sina, orang yang mengenal Eros hingga borok-boroknya, harus mati-matian menahan tawa.
Sina bisa melihat kecanggungan Eros dan lirikan yang ditahan mati-matian untuk tidak mengecek dua orang di ambang pintu yang mematung dan melihat seluruh adegan mesra-mesraan barusan.
"Terima kasih, nanti dimakan." Eros mengambil kotak yang Anne sodorkan dan meletakkannya di atas meja sebelum bersiap kembali ke ruangan pemeriksaan, misi awal untuk tidak ditatap dengan senyuman penuh makna Suster Dahlia dinyatakan gagal, kembali ke normal.
Sayangnya, Anne punya mata setajam elang dengan insting memburu kelinci yang tengah terbengong di savana luas jauh dari liang persembunyian. Ia menoleh pada dua orang yang tak bersuara, mencoba menghilangkan keberadaan mereka yang terlanjur melangkah ke pintu sebaik mungkin.
"Ini pasti Ursa, ya?" Anne menunjuk rambutnya sebagai alasan mengapa ia tahu. "Hanya kamu pasien di sini yang rambutnya biru kayak pepsi." Ia tersenyum lebar sambil menyeberangi ruangan untuk menyalami Ursa. "Terima kasih sudah mempercayakan pengobatan kamu di Wijaya Center, ya."
Respon yang diharapkan dari pewaris rumah sakit, tentu saja, untungnya, ha! Ursa menyalami balik sambil mengucapkan terima kasihnya.
"Kamu ngapain ke sini?" Anne bertanya pada Sina yang berdiri di balik tubuh Ursa. "Periksa juga? Masih belum sembuh rusukmu?"
"Belum nih, mau cangkok sih, kebetulan udah ketemu rusuk yang hilang satu itu." Wajahnya serius sambil memegangi dada sebelah kirinya, mengusap seolah kesakitan.
"Eh, rusukmu hilang? Kok bisa? Ih, becanda nih!"
"Enggak kok, ini serius, rusuknya udah ditemukan," ia merangkul pundak Ursa hingga tubuh mereka saling menempel. "Ini rusuk yang hilang itu. Bisa dicangkok nggak, Cak?"
Anne baru sadar dengan lelucon barusan, ia tergelak hingga menengadah ke atas sambil menutupi mulutnya. "Aduh, aku kok ya nggak sadar-sadar kalau kamu tuh suka iseng gini, kejebak mulu deh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
URSA [Terbit]
Literatura Feminina[SUDAH TERBIT] Pada usia seperempat abad, menurut orang-orang, seharusnya berada di puncak vitalitasnya dan menghabiskan waktu di luar ruangan. Seharusnya jatuh cinta pada pria lajang yang bisa diajak menikah. Bukan bolak-balik rumah sakit lantaran...