Pagi menjelang tengah hari itu Mbak Azwa sudah sibuk membacakan jadwal temu Ursa selama satu bulan ke depan dan pekerjaan mana yang harus didahulukan mulainya dari rencana awal. Ia sudah membuat daftarnya dan tetap saja menyebutkan lantang-lantang meski tahu betul Ursa akan melupakannya begitu ia melangkah keluar dari apartemen.
Sementara si bos kecil yang sedaritadi dicereweti sibuk merapalkan mantra yang dihapalnya dari manga Naruto untuk melenyapkan.
"Mbak, tahu dukun santet yang tokcer dekat sini nggak? Enggak usah sampai mati bernanah, cukup muntah beling, kenal nggak?"
Azwa yang masih keturunan Arab Aceh langsung menatap Ursa dengan kedua mata terpicing, menilai apakah bos kecilnya sedang bercanda atau sungguhan, dan sejujurnya, Azwa lebih memilih opsi bahwa Ursa tak main-main
"Buat siapa sih? Pacar? Punya pacar sekarang?"
Bukannya membantu, rupanya Azwa justru menambah kejengkelan Ursa. "Sebelum Mbak Azwa masuk ke dalam daftar orang yang ingin gue santet, mending kasih tau aja jadwal paling dekat."
Tuh, enggak didengerin, kan? Kesal Azwa sambil membuka catatan lainnya yang berisi nama. "Jadwal konsultasi pertama Mrs. Fira dan Miss Sabria, untuk menghemat biaya, mereka sengaja pesan untuk tahun depan. Hemat ongkos potong antrean." Makin lama jangka pengerjaan, fee-nya akan semakin murah.
"Apa catatannya?" Ursa berdiri di depan cermin sambil mengikat rambutnya yang pendek hingga menyisakan cukup banyak rambut di sisi kanan dan kiri yang tidak bisa diikutsertakan ke dalam ikatan.
"Miss Sabria orang yang mudah bimbang jadi mungkin menginginkan beberapa kali jadwal konsultasi sebelum memutuskan mana desain finalnya."
"Duh, bawel pasti." Ia merapikan poninya di depan cermin sebelum mengambil jaket kulit hitam untuk menutupi kaus putih turtleneck lengan buntung. Sambil berkaca, Ursa mempertimbangkan membawa semprotan merica, just in case, tapi rasanya lebih praktis berteriak. Maka, diurungkannya dan hanya menenteng ponsel.
Ia turun bersama Mbak Azwa menuju area parkir karena suami Mbak Azwa, Mas Pram sudah menunggu di sana. Ursa sering curiga apakah Mas Pram adalah suami Mbak Azwa ataukah supir yang naik jabatan jadi suami lantaran hari apa pun dan jam berapa pun Mbak Azwa minta dijemput, Mas Pram selalu sedia. Namun untuk menghindari di-smackdown oleh Mbak Azwa, ia mengurungkan pertanyaan tersebut.
Mas Pram lebih mirip bodyguard Pangeran Arab sebenernya, tinggi besar dengan berewok, dan kulit yang sedikit gelap, kalau berdiri di samping mobil mirip tukang bajaj di India yang mencoba menarik penumpang sambil berteriak-teriak. Meski Ursa belum pernah ke India.
Begitu pintu lift terbuka, Ursa kaget bukan main lantaran mobilnya tak ada di tempat. Si Galahad hilang dari tempatnya. Seluruh penghuni punya tempat parkir dan Ursa meminta tempat parkir yang dekat dengan lift lantaran malas berjalan jauh dan mobil Audi RS5 putih yang ia beri nama Galahad lenyap dari area parkir.
"Mobil gue ilang, Mbak!" Ursa menunjuk area parkir khusus mobilnya kosong. Kemudian ia ingat Rindang. Buru-buru ia menghubungi teman serumahnya tersebut. "Ini jangan-jangan mobil gue nabrak terus masuk bengkel nih dan dia nggak bilang!"
Sambil mendecih, meremehkan Ursa yang panik, Mbak Azwa berujar yang ada benarnya juga, "Emang si Rindang punya uang buat bayar servis mobil kamu?"
Seketika Ursa merasa lega, benar juga. Rindang pasti memilih untuk memohon dimaafkan dan bersedia menjadi pembantu dadakan selama satu tahun penuh ketimbang membayar biaya servis.
"Paling juga Rindang lupa bawa mobil lo dan meninggalkannya di suatu tempat." Sambung Mbak Azwa sebelum masuk ke dalam mobil sambil tertawa puas bahkan sempat-sempatnya melambaikan tangan pada Ursa.
KAMU SEDANG MEMBACA
URSA [Terbit]
ChickLit[SUDAH TERBIT] Pada usia seperempat abad, menurut orang-orang, seharusnya berada di puncak vitalitasnya dan menghabiskan waktu di luar ruangan. Seharusnya jatuh cinta pada pria lajang yang bisa diajak menikah. Bukan bolak-balik rumah sakit lantaran...