Langkahnya terkesan terburu ketika menyeberangi lobi Rumah Sakit dan terus naik ke lantai dua spesialis tulang. Baggy jins biru pudar, kaus kelabu lengan panjangnya ditarik hingga bagian siku, kacamata hitam, dan yang paling menarik perhatian pengunjung adalah rambut merah muda permen karetnya yang dibiarkan tanpa penutup.
Ia langsung mendatangi kuncen ruangan Eros. "Halo, Suster Dahlia," sapanya dengan melancarkan senyuman andalan superlebar yang selalu berhasil ia terapkan ke wanita yang lebih tua.
"Sina!" Suster Dahlia yang kaget refleks memukul lengan Sina. "Bikin kaget aja! Kamu mau konsultasi di jam makan siang lagi? Kasihan tahu, Dokter Eros belum makan, nanti kalau tambah kurus diomelin Dokter Anne, lho! Disate baru tahu rasa!"
Sina menopangkan dagunya di telapak tangan kiri sambil mengangguk, menyetujui seluruh rentetan tebakan Suster Dahlia. "Memang yah, Eros tuh terlalu kurus, kayak anak kuliahan semester akhir." Ia masih mengangguk simpati sebelum berubah dalam satu detik. "Kabar baiknya, Sus, saya mau ajak Dokter Eros makan siang, bisa kan?"
Tanpa aba-aba Sina menyeret tangan Eros sepanjang perjalanan menuju area parkir. Jika salah satu di antara mereka adalah wanita, sudah pasti orang akan tersentuh, meleleh, dan mengatakan 'manis banget!' pada adegan seret-menyeret tangan menuju tempat makan.
"Gila, yang bener aja! Masa naik motor? Panas banget!"
Sina tak terima protes. Ia menyodorkan helm ke pelukan kakak sepupunya yang hanya mengenakan kemeja cokelat lengan panjang. "Jangan manja deh, Pak Dokter. Kita ke Soto Babat Babeh Jamhari."
Soto Babat Babeh Jamhari merupakan soto babat legendaris keluarga Mahawira, terhitung dari buyut mereka sudah mencicipi racikan legendaris tiga generasi tersebut. Makan di warung soto itu tanpa sadar sudah menjadi tradisi keluarga Mahawira, bahkan si pemilik sekarang, Pak Aris, sudah menyaksikan Sina berganti kekasih tiga kali, mengenal ketiganya, dan Eros dengan satu mantan kekasihnya ketika SMA.
"Wah, Sinchan lagi di Indonesia nih? Rambutnya sekarang pink kayak anak ayam di belakang SD Impres, ya?" kelakar Pak Aris sambil menunangkan kuah soto ke empat mangkuk berbeda. "Duduk dah, nih di mari aja duduknya, biar kagak dilirik Mbak-mbak ini nih." Pak Aris menunjuk sekumpulan Mbak-mbak kantoran dekat sini yang langsung berbisik begitu melihat dua orang pria tinggi yang satu rapi mengenakan kemeja mahal dan satu lagi berantakan dengan celana jins kebesarannya.
"Makasih, Beh, biasa ya, saya tomatnya banyakin." Sina memesan untuk mereka berdua dan duduk di sisi lain warung tenda yang bisa memuat enam belas orang sekaligus.
"Siap, Mas Sina! Mas Eros nasinya banyakin enggak? Biar kuat digangguin ibu-ibu."
"Enggak usah, Beh, banyakin kentangnya aja."
Masih belum berubah. Pikir Eros. Suasanya keakraban yang sama dan aroma kuah yang sama. Ia merasa seperti pulang ke rumah.
"Mas Eros mana nih? Belum punya pacar juga? Kalau belum, tuh sama anak saya yang bungsu, si Evi, biar anak tukang soto, kuliahnya di UNJ dia, Mas!" kelakarnya semakin menjadi.
"Kamu belum pernah bawa Anne ke sini, Cak?" tiga tahun bertunangan namun Anne belum pernah dibawa ke sini, tandanya Anne belum resmi menjadi bagian keluarga Mahawira yang setengah sableng.
"Yang kamu omongin itu Anne, Na. Mau makan KFC saja sudah mending."
Benar juga, Anne yang sedari kecil makan empat sehat lima sempurna yang dagingnya diimpor dari Kobe, mie dibuat tangan oleh sang ahli, dan sayuran terbaik, mana mungkin mau makan jeroan hewan?
"Kayaknya dia enggak akan cocok sama keluarga deh."
Eros hanya menaikkan alis kirinya mendengar peryantaan tersebut. Apa Sina pikir Eros tidak mengetahui hal itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
URSA [Terbit]
Romanzi rosa / ChickLit[SUDAH TERBIT] Pada usia seperempat abad, menurut orang-orang, seharusnya berada di puncak vitalitasnya dan menghabiskan waktu di luar ruangan. Seharusnya jatuh cinta pada pria lajang yang bisa diajak menikah. Bukan bolak-balik rumah sakit lantaran...