Bagian 3

10.8K 946 18
                                    

Adhitama  melangkah turun dari Mercedes SLK  hitam sewaannya dan menatap bangunan sederhana yang ada didepannya.
SDIT  Isy Karima.
Tentu saja wanita itu memilih untuk bekerja dengan anak anak. Dimana lagi  dia ingin bekerja?

Pilotnya tadi ingin mengantarnya langsung ke lokasi ini, tapi Adhitama tidak ingin menimbulkan kehebohan karena pendaratan helikopternya  tentu saja harus dilakukan di helipad milik SAR yang berlokasi dibibir pantai, jadi dia memilih untuk mendarat di helipad salah satu hotel  diJogja, menyewa salah satu suitenya  dan melanjutkan perjalanan dengan menyewa mobil ini.

Mengendarai mobil untuk melewati jalan pedesaan adalah hal yang  menyenangkan dan mahal bagi Adhitama, biasanya ia selalu disopiri dan hari ini ia menikmati pemandangan desa dipinggir pantai selatan Jogja dengan damai.

Setelah  sempat berhenti sholat Jum'at disebuah masjid besar  yang ternyata diakhiri dengan acara makan siang bersama sesudah sholat, Adhitama tidak punya agenda lain untuk hari ini kecuali mengambil cincinnya.

Ah, sebenarnya kau penasaran seperti apakah Acha sekarang, bisik hatinya culas.

Hari ketika Adhitama membaca diberita gosip online yang disodorkan oleh sekretaris nya berisi berita bahwa Acha ingin memiliki 5 anak , adalah yang menyadarkan Adhitama bahwa dia belum siap untuk menikah, itulah mengapa ia tidak datang ke pernikahannya. Satu anak  sudah terlalu banyak untuk Adhitama apalagi lima anak, mungkin saat ini Acha sudah mendapatkan keinginannya.

Seraya tersenyum muram seakan mengejek diri sendiri, Adhitama memindai bangunan yang ada dihadapannya, otomatis melihat bagian mana saja dari bangunan itu yang perlu diperbaiki.
Pagar kawatnya setengah koyak, mungkin karena muridnya masih kecil tidak ada yang berkeinginan membolos melalui pagar koyak itu, saat memandang keatas ada bagian genteng yang tertutup plastik seperti  sengaja untuk menambal kebocoran.
Adhitama menarik nafas panjang, tidak mengira Acha akan bersembunyi di tempat seperti ini.

Lamunan Adhitama terputus oleh suara bel,  semenit kemudian anak anak berhamburan keluar kelas dan pergi ke taman bermain, saling bercanda , tertawa bahkan ada beberapa yang saling mendorong.
Seorang wanita muda mengikuti anak anak keluar pintu, menjawab pertanyaan pertanyaan, menengahi pertengkaran dan dengan lembut menegur saat situasi mulai tidak terkendali.

Wanita itu memakai rok hitam sederhana, sepatu berhak datar dan baju batik sepanjang lutut. Adhitama tidak menengok dua kali karena ia sibuk mencari sosok Acha.

Adhitama kembali memandang bangunan itu, yakin bahwa informasi miss septi pasti keliru tentang alamat ini, dan Adhitama sudah hampir berbalik kembali ke mobilnya saat telinganya mendengar suara tawa yang  familier.
Matanya mengikuti suara tawa itu dan  mendadak ia mendapati dirinya mengamati guru muda yang mengenakan rok hitam dan sepatu datar tadi.

Wanita itu tidak mirip Acha saat remaja, dan Adhitama   hampir mengabaikan wanita itu sekali lagi ketika wanita itu menelengkan kepalanya.
Adhitama menatap jilbab lebar yang berkibar ditiup angin, lalu wanita itu tersenyum dan Adhitama terkesiap tajam karena mustahil tidak mengenali senyum itu. Senyum lebar, hangat dan murah hati tampak lepas dan tulus.
Adhitama kembali memandang ke arah bibir wanita dan sekali lagi mengamati rok sopan wanita itu.

Jeritan kehebohan menyadarkan Adhitama dari mengamati pakaian guru muda itu. sekelompok anak laki laki melihat mobilnya dan seketika itu pula ia menyesal karena tidak memarkir mobilnya dibelokan agar tidak kelihatan.

Sewaktu tiga orang anak berlari  dan mulai memanjat pagar kawat bobrok itu, Adhitama memandanginya dengan ngeri.
Tiga kepala mungil itu memandangi mobilnya lalu  dirinya.

"Wow...mobilnya bagus," kata anak yang pertama.

"Apakah itu Porche? Atau Ferrari?" Tanya anak yang kedua.

Cincin untuk Acha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang