Bagian 11

9.7K 788 6
                                    

Acha sudah selesai memasak untuk makan malam saat adzan Ashar terdengar, dari dulu Acha tidak pernah makan malam diatas jam 5 sore.

Setelah mandi dan sholat ashar barulah Acha  membangunkan suaminya, karena sore ini mereka harus lapor ke RT setempat, lapor jika ada warga menginap apalagi salinan surat nikah mereka berdua belum jadi.
Pertemuan dengan pak RT berjalan lancar,  Adhitama memang pelobi yang ulung karena sore itu pulang dari pak RT  senyum pak RT sangat  lebar karena suaminya itu membayar pekarangan pak RT berupa padang kosong penuh  ilalang  dengan harga yang sangat pantas.

Meski uang tidak menjamin kebahagiaan, namun ternyata punya uang bisa sangat menguntungkan.

Mereka melewatkan makan malam pertama  mereka dalam hening, melakukan sholat berjamaah maghrib dan isya dimasjid terdekat  berdua , meski Acha tahu seorang wanita lebih utama sholat dirumah namun hari itu ia ingin menunjukkan letak masjid terdekat dari rumah kepada suaminya, dan berjalan kaki pulang dari masjid diisi dengan keheningan saat pintu ruang tamu itu tertutup Acha merasa harus memulai pembicaraan, ada banyak hal yang harus ia bahas dengan suaminya , karena sebenarnya suaminya ingin melaksanakan tugasnya sebagai suami namun dia tidak ingin punya anak dan Acha bersedia melakukan kewajibannya sebagai istri hanya saja ia ingin anak yang banyak, jika mereka tidak bisa menegosiasikan hal ini dan membuat kedua belah pihak merasa diuntungkan, maka Acha tidak melihat kemana arah dari rumahtangganya yg baru berumur 2 hari ini.

Ah, kenapa masalah ini menjadi lebih rumit dari yg kelihatan.
Masih memakai mukena komplit saat Acha menyedekapkan tangannya didada dan menunggu hingga Adhitama duduk diruang tamu.
Acha menarik nafas panjang sebelum memulai diskusi malam ini, karena bahkan sebelum memulainya Acha merasa ruang tamu nya menyempit dengan kehadiran suaminya disana yang langsung  sibuk dengan ponselnya begitu duduk dan mengabaikan Acha yang ada disana.

"Dhit, aku mau ngomong."

"Tentang pembagian tempat tidur?" Kata Adhit sambil menaikkan kedua alismatanya dengan lucu.

Acha mendelik keki melihat hal itu, bisa bisanya Adhitama memandang apa yang ia bicarakan sesuatu untuk diolok olok.

"Ha..ha..ha..." balas Acha bahkan tanpa ekspresi tertawa dan hal itu membuat ekspresi Adhitama menciut.

Istriku tidak bahagia, bisik kecut hati Adhitama.

"Oke," kata Adhitama sambil menaruh gawainya di meja.

"Kenapa kau ingin menikah ?"

"Karena menikah menggenapkan separuh iman."

"Dan tidak ingin punya anak?"

"Ingat doa setelah menikah?

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ

“Barakallahu laka, wa baraka ‘alayka wa jama’a baynakuma fii khayr.”
yang artinya :
 “Mudah-mudahan Allah memberkahimu, baik ketika senang maupun susah dan selalu mengumpulkan kamu berdua pada kebaikan.”

"Yups, tapi itu tidak menjawab pertanyaanku."

"Disitu tidak ada wa dzuriyyatina....jadi menikah itu tidak harus punya anak."

"Tapi salah satu tujuan menikah adalah untuk meneruskan keturunan."

"Rasulullah dan bunda Aisyah juga tidak punya keturunan," jawab Adhitama ngeyel.

Acha menarik nafas," Rasulullah dan bunda Aisyah tidak punya anak karena tidak dikasih sama Allah ....BambanK.....
Bukan karena mereka tidak ingin punya anak."

"Siapa bambanK ?"

"Panggilan dariku untukmu kalau kau menyebalkan."

"Aku menyebalkan? Hei, aku yang menyetujui perjanjian tidak masuk akal tentang pemisahan tempat tidur." jawab Adhitama dengan mimik jenaka yang membuat wajah Acha merah padam.

Cincin untuk Acha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang