Bagian 14

10.6K 801 13
                                    

"Ibu jarimu terluka," kata Adhitama lembut.

"Oh, tak apa apa."

"Tak apa apa?" gumam pria itu.

"Sini, biar kulihat!"

Acha menggeliat tak nyaman saat Adhitama memegang tangannya yang terluka dan mulai meneliti ibu jarinya.

Jika dilihat sekilas apa yang dilakukan Adhitama adalah kontak yang biasa biasa saja, namun tidak demikian yang dirasakan oleh Acha. Kontak biasa itu membuat otaknya kosong, berdesir aneh diperut dan deg degan yang tidak biasa di dadanya .

Dia merasa salah tingkah dan tidak tahu harus melakukan apa selain ikut memandang apa yang dilakukan oleh suaminya itu.

Suaminya pulang tadi pagi setelah dua malam melewatkan waktu diluar bahkan tanpa pesan ataupun telpon yang harusnya pantas ia dapatkan sebagai pengantin baru yang harusnya tengah berbulan madu seperti ijin cuti yang ia ajukan.

Desir aneh dan rasa melilit diperut itu kembali terasa saat tangan suaminya membalik telapak tangannya, meski senang dengan perhatian Adhitama namun hal itu tidak menghilangkan perasaan tak aman dan cemburu yang menghantui selama 2 malam terakhir.

Bagaimana jika Adhitama mendapatkan perhatian diluar sana? Karena sampai dengan saat ini, suaminya itu bersikap  sopan terhadap dirinya, tidak pernah mencoba merayunya bahkan saat tidur seranjang kemarin dulu.

Menghabiskan waktu berdua dengan Yangti membuat Acha sedikit banyak mulai bisa mengerti keanehan sikap suaminya terkait ketidak inginannya untuk tidak memiliki anak.

Papa dan mama Adhitama bercerai saat suaminya itu berusia 6 tahun, dan hak asuh Adhitama jatuh pada mamanya.
Sejak saat itu Papa Adhitama tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya, Adhitama merasa dibuang oleh ayahnya.

Pun demikian dengan sang ibu yang terlalu sibuk mengumpulkan pundi pundi rupiah hingga melupakan bahwa putra kecilnya itu tidak hanya membutuhkan materi, Membayangkan Adhitama kecil yang kesepian dan sendirian membuat Acha mengerti bahwa suaminya itu hanya takut ia akan melakukan hal yang sama seperti ayah ibunya jika nanti punya anak.

Acha menatap suaminya dengan sayang, meski senang karena kepulangannya pagi tadi, namun Acha tidak bisa menghilangkan perasaan tidak aman dan cemburu atas apa yang dilakukan suaminya selama 2 malam berjauhan darinya.

"Bagaimana kejadiannya?" Kata Adhitama sambil serius melihat melihat dan meneliti jempol Acha.

"Aku terluka karena pisau buah."

"Kau ceroboh."

"Ya,"  Acha ingin melarang Adhitama memegang tangannya, tapi tidak ada kata kata yang keluar dari mulutnya.
Karena meski tindakan itu tampak seperti pemeriksaan  biasa biasa namun Acha merasakan syaraf syaraf tangannya hidup semua saat berada dapat genggaman suaminya. Acha menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan pelan berharap hal tersebut mampu meredakan desiran dan cubitan kupu kupu yang menyebar diseluruh badannya, sebelum akhirnya tersenyum dan berkata,"Jadi, apa yang kau kerjakan kemarin? "

Sebuah pertanyaan yang bahkan tidak ingin Acha tanyakan,  Untuk sesaat Adhitama tidak menjawab pertanyaan itu, dia melepaskan tangan Acha, tersenyum miring dengan lekuk lekuk bibir sedikit mengejek," Jadi aku harus melaporkan semua agendaku padamu?"

"Emh...iya..emh ...tidak juga," Acha tergagap gagap menjawab karena tidak mengira akan mendapat pertanyaan balik.

Adhitama tersenyum," Seharusnya aku mengajakmu."

"Haruskah?"

Adhitama menaikkan kedua alisnya,"Tidak ada yang mengharuskan sih, hanya saja hal itu akan memudahkanku untuk menghindari banyaknya tawaran yang ada."

Cincin untuk Acha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang