Bagian 16

10K 821 17
                                    

Saat jam malamnya berdering untuk sholat lail Acha merasakan berat diperutnya. Membuka mata perlahan dan Acha melihat tangan maskulin melintang protektif diperutnya, berusaha menoleh pelan dan melihat wajah damai suaminya tertidur disana.

Saat masih pulas wajah Adhitama terlihat damai, terlihat lebih muda dan perlahan Acha mengelus wajah itu, tersadar bahwa saat ini ia yang bangun tidur terlebih dahulu, karena biasanya selalu Adhitama yang membangunkannya untuk sholat lail.

Tiba tiba mata Adhitama terbuka perlahan kemudian tersenyum.

"Hai wife..."

Tangan Acha yg masih separuh jalan itu sempat menegang sesaat.

"Hai Husband..."

Acha tersenyum tipis meskipun masih tersisa sedikit dongkol karena ditinggal pergi tanpa penjelasan semalam, namun rasa dongkol itu sedikit berkurang melihat suaminya kembali dan tidak kabur darinya seperti enam tahun yang lalu.

"Butuh bantuan ke kamar mandi?"

Acha tersipu malu, panggilan alamnya memang yang membangunkannya.

"Iya , aku ingin pipis kemudian wudhu untuk sholat lail."

Adhitama perlahan turun dari bed, menyalakan lampu ruangan kemudian membantu istrinya turun dari tempat tidur dan memapahnya ke kamar mandi sambil mendorong IV.

Acha tersenyum saat menyadari bahwa selama mereka menikah baru hari ini sholat lailnya berjamaah dengan suaminya , karena biasanya Adhitama selalu lebih dulu.

Meski melakukanya sambil tergolek ditempat tidur hal tersebut tidak mengurangi kekhusyukan sholat mereka berdua, apalagi saat menunggu waktu subuh Adhitama larut dalam dzikir.
Acha sebenarnya membutuhkan penjelasan tentang sikap Adhitama yang masih angin anginan namun sepertinya ia harus sabar menunggu suaminya untuk menjelaskan semua kepadanya dengan rela tanpa paksaan.

Mungkin Acha memang tipikal pemaaf, karena saat melihat suaminya memilih untuk tidur tidak nyaman demi untuk menjaganya sudah membuat hatinya luluh, terlebih lagi saat sarapan pagi ini suaminya bersikeras menunggu dirinya menghabiskan makanannya dengan ancaman Adhitama akan menyuapinya.

"Aku tidak mau kau melakukan sesuatu yang bisa membahayakan dirimu atau bayi itu," kilah Adhitama saat Acha memberikan tatapan mata bertanya.

"Bayiku, ini bayiku bukan bayi itu," sahut Acha dengan cepat.
"Bagaimana kalau bayiku mendengarmu dan tahu kalau kau tidak menginginkannya?"

Keheningan panjang terentang ketika Adhitama menatapnya dengan intensitas yang membuat detak jantung Acha memburu.

"Jangan pernah katakan itu," kata Adhitama kaku.
"Benar, aku yang mengaku tidak menginginkannya...tapi nyatanya sudah terjadi dan itu menjadi tanggung jawabku."

"Aku tidak ingin kau bertanggung jawab karena terpaksa, aku bisa melewati ini sendiri," jawab Acha keras kepala.

Memangnya siapa dirinya, jika Adhitama tidak menginginkan bayinya maka ia punya uang lebih dari cukup untuk membiayai anak ini, tranferan pembagian hasil usaha pabrik dan toko batik peninggalan papa yang kini dikelola kak Andre lebih dari cukup untuk bertahan hidup.

"Astaghfirullah Acha, aku berusaha jujur padamu. Jika aku mengatakan aku senang dan menginginkan bayi itu apakah kau akan percaya?"

Seraya menahan airmata yang hampir jatuh, Acha menggigit bibir.

"Tidak."

"Aku memberitahumu perasaanku yang sebenarnya, kehamilanmu membuatku terkejut."

Rambut Adhitama yang mencuat tak tentu arah padahal biasanya selalu rapi cukup menjelaskan seberapa gusar perasaan pria itu atas berita kehamilan Acha.

Cincin untuk Acha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang