| |2. Not Lie| |

763 133 11
                                    

Gadis bersurai blonde itu baru saja keluar dari cafe yang baru saja tutup. Karena keasyikan bercerita, ia jadi tidak menyadari kalau waktu sudah hampir tengah malam. Dan kini, disinilah ia, duduk di sebuah mini market 24 jam sambil mengamati badai hujan besar yang entah kapan berhentinya.

Mark baru saja pergi karena panggilan mendesak dari orangtuanya. Kakeknya baru saja meninggal dan Sana turut berduka cita akan hal itu-walaupun Mark mengatakan kalau ia bahkan belum pernah bertemu dengan kakeknya itu.
Ramyeon cup-nya baru saja habis tapi gadis itu masih mengaduk-ngaduk kuah sisanya dengan lemas. Ia ingin pulang. Sungguh, jika saja stok payung di mini market ini masih ada, mungkin sejak tadi dia sudah meninggalkan tempat sepi ini.

Terlebih karena pria tua-tidak terlalu tua sih, mungkin berumur tiga atau empat puluhan-itu terus menatap kearahnya yang semakin membuatnya merasa tidak nyaman.

Terbesit keinginan untuk menerjang hujan badai itu saja sampai rumah karena jaraknya tidak terlalu jauh tapi akal sehatnya kembali mengingatkan kalau ia sedang memakai high heels dan jalanan pasti licin dan ia tidak mau berakhir dengan banyak luka disertai demam keesokan harinya.

Jadi, Sana hanya memainkan ponselnya. Berselancar di media sosialnya sembari menunggu hujan badai berhenti atau saat sudah sedikit mereda.

Secangkir kopi hangat tiba-tiba tersaji di mejanya. Kening gadis itu mengernyit, rasa-rasanya ia tidak memesan ini. Ketika Sana mendongak, wajah pria tua yang sedang tersenyum lah yang menyambutnya.

"Jeoseong hamnida, Ahjussi. Tapi aku tidak memesannya." Sana berusaha berbicara sesopan mungkin. Walaupun ia tidak menyukai tatapan pria itu padanya, sopan santun masih harus tetap dijaga.

"Aku membuatnya khusus untuk pelanggan cantik-ah maksudku, untuk pelanggan setia mini market ini."

"Tapi ini kali pertamaku kesini."

Pria tua itu menarik senyumnya lebih lebar-dan itu malah terlihat sangat mengerikan bagi Sana. "Tidak apa-apa. Kau minum saja, supaya tubuhmu hangat. Itu gratis."

Sana hendak menolak, tapi pria itu malah sudah kembali untuk melayani beberapa pelanggan yang telah menunggu. Sana mengerucutkan bibirnya, sudahlah, lagi pula tidak baik menolak pemberian orang lain.

Uap kopi di dalam gelas kertas itu masih mengepul, Sana menyeruputnya dengan pelan hingga rasa pahit dan hangat itu menyapa tenggorokan keringnya.

Namun, tak lama setelah Sana menghabiskan kopi buatan pria itu, tubuh Sana tiba-tiba terasa panas-padahal suhu di dalam dan di luar mini market ini sangatlah dingin. Sana meremas roknya, berusaha menahan rangsangan tubuhnya yang menggebu. Ini gila, sepertinya pria itu telah memasukan obat perangsang pada kopi itu.

Seharusnya Sana menyadarinya, tak akan ada orang di dunia ini yang akan memberi sesuatu tanpa alasan-terutama pria itu, saat ini bahkan ia secara terang-terangan menatap lapar Sana.

Sana berusaha menahannya, ia beranjak dari tempatnya. Susah payah ia berusaha untuk keluar dari mini market itu, tapi sebuah tangan besar menahan tangannya.

Sana berteriak saat pria itu tiba-tiba mencengkram tangannya, menariknya dengan kasar hingga tubuhnya terperangkap oleh tubuh besar pria itu.

Pria itu menyeringai, tangan nakalnya bahkan kini sudah lancang menyentuh pinggang Sana, membuat gadis itu semakin memberontak. Obat sialan itu membuat Sana semakin tersiksa karena walaupun ia menolak sentuhan pria itu, reaksi tubuhnya lain.

Tubuhnya sangat mendamba sentuhan saat ini dan entah sampai kapan Sana bisa bertahan menahan semua ini.

Siapapun itu, tolong aku.

Without You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang