Chapter 6 | Martabak

46 10 0
                                    

"Sahabat yang menjadi pacar itu lebih menyakitkan. Kenapa? Karena kalau hubungan mereka putus, yang ada mereka menjadi mantan pacar dan mantan sahabat." -Mocha Ayunindya Eri

"Adek, ini mau rasa apa martabaknya?"

Cino tidak fokus dengan pertanyaan tukang martabaknya. Dia daritadi bengong saja-memikirkan tentang kejadian tadi. Tukang martabak pun mengulang kembali pertanyaannya, dengan nada yang mulai meninggi tentunya. Sontak saja Cino sadar dari lamunannya dan ia malah keceplosan bilang sesuatu. "Rasa yang tidak pernah ada saja, Kak."

Hening seketika, tukang martabak pun bingung dengan jawaban Cino. Apakah Cino sedang menggodanya? Ah, tentu saja itu geli memikirkannya. "Maksud saya, martabaknya itu rasa green tea." Cino memperbaiki ucapannya.

"Oh, bilang dong daritadi."

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya martabak itu beres juga. Cino pun membayarnya dan kemudian segera pergi meninggalkan penjual martabak. Saat di perjalanan, Cino melihat sekumpulan anak muda yang sedang berpesta minuman keras. Penglihatannya justru tersorot ke seorang cowok yang memakai pakaian serba hitam. Cino mengenali cowok tersebut. Itu adalah cowok yang diceritakan Mocha. Ya, itu adalah Kevin. Sepertinya yang lain itu adalah kawan-kawan Kevin.

Karena tak mau bermasalah dengan mereka, Cino pun bergegas untuk kembali ke rumah Mocha. Cino harus cepat-cepat memberikan martabak ini ke Mocha. Ia khawatir kalau martabak ini nantinya malah dingin.

Saat sudah sampai di rumah Mocha, ia tidak mendengar suara perpecahan maupun permasalahan. Sunyi nan hampa rasanya. Tak lama kemudian, suara derap langkah mulai terdengar. "Cino, ngapain diem di luar? Tuh peralatan editing sudah aku siapin." Mocha menyadarkan Cino dari lamunannya. Cino mudah sekali terperangkap di lamunannya. "Eh, iya-iya aku masuk dulu ya."

Setelah memberikan martabak itu ke Mocha, ia langsung pergi ke kamar Mocha untuk memulai pengerjaan tugas iklan layanan masyarakat. Ia mulai dari pengumpulan materi bahan-bahan sampai ke tutorialnya.

"Gimana? Sudah beres persiapannya?" Mocha datang secara tiba-tiba. Ia mengganti pakaiannya menjadi pakaian tidur warna pink. Entah apa maksud dia memakai pakaian tidur. Mungkin sehabis membereskan tugas iklan layanan masyarakat ini, ia akan langsung tidur.

"Udah nih, tinggal mulai ngedit," jawab Cino secara singkat.

Mereka berdua pun mulai mengerjakan tugas iklan layanan masyarakat ini. Cino mengerjakan editing dan dubbing, dan Mocha mengerjakan ilustrasinya.

Di sela-sela mengerjakan tugas, Cino kepikiran tentang beberapa hal. "Eh, Mocha, kamu kenapa suka martabak?" Mocha yang tadinya sedang serius mengerjakan ilustrasi pun harus berhenti dulu untuk menjawab pertanyaan Cino. "Ya aku suka aja sih. Lagipula almarhum ibuku juga suka martabak. Jadi kayak keturunan gitu kali ya."

Cino tiba-tiba berdiam diri layaknya sebuah patung. Ia bingung saat mendengar kata 'almarhum'. Cino tidak tahu bahwa ibu Mocha sudah tiada. "Aku turut berduka cita," ucap Cino.

"Iya, semenjak ibu meninggalkan aku dan ayah, tiba-tiba keadaan berubah drastis. Ayah yang depresi karena tak terima dengan kenyataan, pada akhirnya dia menjadi seorang pemabuk. Dan aku? Aku tiba-tiba menjadi pribadi yang tertutup, keras kepala, bahkan menjadi seorang pemberontak." Mocha menundukkan kepalanya sambil mengingat pertemuan terakhir dengan ibunya.

Cino merasa menyesal saat menanyakan pertanyaan tentang ini. Ia tak tahu kalau kejadiannya akan seperti ini. Untuk menstabilkan suasana, Cino izin untuk pulang. "Aku izin pulang ya. Untuk tugas, bisa kita kerjain nanti aja. Lagipula kamu harus beristirahat dulu kayaknya. Jangan memikirkan tugas ini dulu ya," ujar Cino.

Sang surya sudah mulai padam. Hanya meninggalkan kehangatan senja. Tugasnya sih sedikit lagi. "Eh, iya silahkan, tapi ini tugasnya mau aku beresin sekarang aja. Biar aku ada kerjaan nih. Dari kemarin-kemarin aku cuma rebahan doang."

"Bener nih? Kalau ada apa-apa nanti tinggal bilang aja ya."

"Siap."

Cino langsung pergi meninggalkan rumah Mocha. Ia tak izin pulang dulu ke ayahnya Mocha, karena Mocha khawatir kalau ayahnya nanti malah mengamuk lagi. Cino buru-buru untuk pulang. Ia lupa kalau harus menyiapkan makan malam, karena hari ini adalah gilirannya memasak.

Saat diperjalanan, Cino dicegat oleh beberapa orang. Ia sepertinya kenal dengan mereka. Ya, itu adalah kawan-kawan Kevin. Cino ingat, bahwa mereka itu pasti sedang mabuk. "Kamu Cino ya?"

"Iya, saya Cino," ucap Cino secara singkat.

Tiba-tiba sebuah pukulan menghantam perut Cino. Darah merah yang segar tiba-tiba keluar dari mulut Cino. Pukulan, tendangan, dan bantingan terus menghantam Cino. Cino sudah tak memiliki tenaga untuk melawan. Kematian yang hanya terlintas di pikiran Cino. Tak kuat untuk menahannya lagi, ia pun jatuh pingsan.

Saat sebelum menutup mata, Cino masih mendengar ucapan kawan-kawan Raihan. "Itu balasan untuk orang pengganggu," ucap salah seorang kawan Kevin. Cino pun menutup matanya. Kawan-kawan Kevin pun pergi meninggalkan Cino.

MochaccinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang