"Bertemu denganmu, membuatku melupakan segala permasalahan yang sedang aku hadapi. Kamu itu bagaikan malaikat penolong yang Tuhan ciptakan untuk menemaniku." -Mocha Ayunindya Eri
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Dingin nan hampa yang terus menemani malam ini. Orang-orang tak menunjukkan batang hidungnya. Memang sih, malam ini tak biasa dibandingkan malam-malam yang lain.
"Lho, kok sepi ya?" tanya Tiara ke Rayhan-sahabatnya, sekaligus yang pernah ditegur oleh Cino. Rayhan mengantarkan Tiara ke rumahnya. Mereka berdua baru saja pulang dari warnet, karena harus mencetak beberapa dokumen tugas sekolah. "Iya nih, gak biasanya ya," jawab Rayhan.
Suara anjing menggonggong dan suara kucing mengeong masih dominan di jalanan ini. "Tiara, di sini gak ada festival satu malam tanpa bersosial kan?" Rayhan yang coba berusaha untuk menetralkan suasana, namun ia masih ketakutan untuk berjalan di kerumunan ruang sunyi ini.
"Ya enggak ada dong."
"Syukurlah."
Beberapa ratus meter lagi mereka sampai di rumah Tiara. Tak jauh dari tempat mereka berpijak, terlihat sesosok laki-laki yang masih memakai pakaian sekolah, namun sosok tersebut sepertinya tertidur di aspal jalanan. Apakah dia sedang mabuk? Hanya pertanyaan itu yang terus terngiang-ngiang oleh Tiara dan Rayhan. "Tiara, kamu berjalan di belakangku. Ada kemungkinan ini hanya jebakan para penjahat atau dia memang sedang pingsan." Rayhan mencoba untuk melindungi Tiara. Ia tak mau terjadi apa-apa terhadap Tiara.
"Darah segar?" ucap Rayhan saat melihat kondisi di sekitar sosok tersebut. Saat melihat wajah sosok tersebut, paniklah mereka berdua. Ternyata sosok tersebut Cino. Wajah Cino memerah dan nampak babak belur yang menghiasi wajahnya. "Astaga, gimana bisa ini?" Tiara mencoba untuk menenangkan dirinya supaya tidak panik, tapi ternyata tidak bisa.
Mereka berdua sudah tidak punya pilihan apa-apa lagi. Rayhan berencana untuk membawa Cino ke rumahnya alias rumah Tiara. Rayhan menopang tangan kiri Cino dan Tiara menopang tangan kanan Cino. Mereka berdua langsung berjalan cepat untuk sampai ke rumah, karena dikhawatirkan ruh Cino sudah berpindah alam.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai di rumah Tiara. Suara gedoran pintu sangat terdengar jelas. Mereka berdua masih tetap panik. Ibu Tiara sekaligus bibi Cino itu merasa takut untuk membukakan pintu depan rumahnya. Ia takut kalau di depan pintu itu ada sesuatu. Memang sih ada sesuatu tapi ini sesuatu yang gawat. Keponakannya ini sudah terbujur kaku. Ia pun mencoba untuk membukakan pintu dan seketika ia tersentak kaget saat melihat keponakannya sudah tak berdaya. "Bawa dia ke sofa dan baringkan sekarang juga!" suruh bibi Cino. Rayhan dan Tiara pun membawa Cino ke sofa yang ada di ruang tamu dan tak lupa untuk membaringkannya. Bibi Cino langsung mengambil peralatan P3K yang ada di dapur dan langsung membawanya ke sofa ruang tamu. Bibi Cino pun langsung mengobati Cino. Rayhan dan Tiara pun bersyukur, saat mengetahui bahwa Cino masih hidup. Bibi Cino mengatakan bahwa Cino butuh istirahat dulu dan esok hari akan siuman.
Saat tugas mengantarkan Tiara sudah selesai, Rayhan pun pamit untuk pulang ke rumah. Tiara menemaninya sampai ke pintu depan. "Kamu tenangin diri ya! Ingat, jangan panik! Aku izin pulang dulu. Kalau ada apa-apa nantinya atau butuh sesuatu, telpon saja aku ya. Dadah, Tuan Putri!" Tiara terkekeh-kekeh saat mendengar panggilannya. Setelah mengecek bahwa Rayhan sudah pergi, ia pun menutup pintu depan dan pergi ke kamar tidurnya. Sepertinya ia akan mimpi indah memikirkan Rayhan.
***
Matahari masih malu-malu untuk menampakkannya. Udara dingin sudah menyelimuti Cino. Dan Cino pun akhirnya siuman dari kejadian tersebut. Setengah sadar tidak sadar, ia malah mendengar suara Mocha. Apa gara-gara ia kangen atau ia menunggu Mocha di sampingnya. Namun tiba-tiba Cino mendengar suara langkah kaki, nampaknya dia sedang terburu-buru. Tetapi suara itu semakin membesar dan mendekati ke sofa ruang tamu. Cino pun mencoba untuk membukakan matanya. Dan akhirnya ia terkejut saat melihat Mocha sudah di sampingnya. Apakah ini sebuah mimpi atau kenyataan? Entahlah, namun ini sudah membuat Cino bahagia. "Kamu kok bisa di sini?" tanya Cino yang penasaran kenapa tiba-tiba ada Mocha. Mocha kesal, seharusnya yang tanyakan Cino itu kondisi dirinya sendiri dulu. "Malah nanya diriku kok bisa di sini. Aku tuh tadinya mau ngumpulin tugas layanan masyarakat ini. Tapi saat mendengar bahwa kamu babak belur, ya aku panik banget dong," jawab Mocha.
Cino menghela nafas. Ia kira kalau Mocha itu mau menambah babak belurnya. "Kamu kok bisa babak belur gini sih? Terus bisa sampai lagi." Mocha mencoba untuk mengoreksi permasalahan yang sedang terjadi. Ia akan melawan perbuatan seseorang tersebut, walaupun itu orang-orang yang dia kenal. "Entahlah, aku tak mau jawab," ucap Cino secara singkat.
Kesal, itulah yang dirasakan Mocha. Bukannya memberikan informasi, eh malah gak mau jawab. "Jawab pertanyaanku atau aku hapus file tugas layanan masyarakat ini?" Mocha mencoba untuk memberi penekanan supaya Cino mau menjawab. Cino pun kemudian menjelaskan kejadiannya secara beruntun dan jujur. Mocha tersentak kaget bahwa penyerangnya itu kawan-kawan Kevin. Ia sudah kesal hati. Ia akan melawannya hari ini juga. "Hari ini aku lawan mereka. Aku tahu dalang ini semua adalah Kevin. Dia sepertinya mencoba untuk membalas dendam gara-gara pernah aku lempar pakai penghapus papan tulis. Dan kenapa kamu yang kena? Sepertinya karena kamu itu teman dekatku." Mocha sudah tak tahan lagi untuk melawan. Namun Cino mencegahnya supaya permasalahan ini tidak membesar. Cino sudah ikhlas atas kejadian tersebut. Ia juga bersyukur, karena ia tahu bahwa ia harus rajin berolahraga dan belajar bela diri supaya bisa membela orang-orang yang lemah. "Sabar, cuy," ucap Cino supaya Mocha bisa tenang.
Daripada terus memikirkan permasalahan kejadian ini. Ia punya usul kalau ia akan mengajak Mocha untuk jalan-jalan. "Eh, gimana kalau kita jalan-jalan aja yuk!" Cino langsung bangkit dari sofa ruang tamu ini dan langsung pergi ke garasi. Namun Mocha mencegahnya dan sepertinya ada sesuatu yang harus diucapkan. "Kamu mandi dulu sana. Kan kamu belum mandi hari ini. Lagipula belum sarapan kan? Tuh di atas meja makan yang di dapur ada masakanku. Makan sana!" bisik Mocha. Antara sedih dan bahagia yang dirasakan Cino. Dan Cino pun menuruti apa perkataan Mocha.
Tak membutuhkan waktu lama, Cino pun sudah mandi dan sarapan. Cino pun pergi ke garasi dan diikuti oleh Mocha. Mereka berdua pun pergi ke suatu tempat yang tak mereka kunjungi sejak lama. Sebuah tempat yang bisa bernostalgia dan bisa membuatnya sedih. Tempat tersebut menjadikan pertemuan pertama kali mereka dan perpisahan terakhir kalinya saat dulu. "Ke Taman Lansia? Kita mau bernostalgia ya?" ucap Mocha yang masih kaget saat dia dibawa ke sini oleh Cino.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mochaccino
Teen Fiction[Novel pertama dari Trilogi Kopi] "Kau sudah memiliki dia. Jadi, tolong jaga dia baik-baik ya. Mungkin, ini sudah menjadi takdir cintaku." Mocha Ayunindya Eri, seorang gadis yang suka protes, bawel, dan suka membuat animasi. Namun, ada saja laki-lak...