Chapter 8 | Taman Lansia

35 7 0
                                    

"Ada kalanya kita harus memberontak untuk menjadi seorang pemimpin. Jika kita hanya bisa diam saja, yang ada kita menjadi seorang budak." -Mocha Ayunindya Eri

"Taman Lansia?" tanya Mocha lagi. Ia sepertinya masih tak percaya dengan perubahan tempat ini. Sudah beberapa tahun ia tidak datang ke tempat ini lagi. Taman Lansia sudah banyak perombakan. Bahkan Mocha sudah tak ingat dengan tata letak tempat ini.

"Ya, kita mau bernostalgia dulu. Lagipula, aku harus menenangkan diri dari kejadian kemarin." Cino menjelaskan mengapa ia memilih tempat ini. Taman Lansia sudah menjadi rumah yang ke tiga baginya. Cino melihat sekeliling taman ini. Ia terlihat tersedu menahan tangis air mata supaya tidak berjatuhan. "Cino, itu patung apa?" tanya Mocha sambil menunjuk ke patung yang ukurannya cukup besar. Mocha merasa iba, ia juga tak kuasa menahan rasa sedih, saat mengingat pertemuan terakhirnya dengan Cino di sini.

Rasa penasaran sudah bergerak. Mocha dan Cino mendekati patung tersebut. Patung tersebut letaknya di ujung kanan taman. Patung yang memiliki tinggi sekitar tiga meter itu, membuat Mocha dan Cino tak kuat menahan rasa takjub. Saat kecil, di taman ini belum ada yang namanya patung. Apalagi ini patung berbentuk T-Rex.

Saat fokus menatap, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sesuatu. Mereka dikejutkan oleh penjual cuanki. "Hayo, lagi ngapain?" Penjual cuanki tiba-tiba ngomong tepat di depan mereka berdua. Cino berusaha mengatur nafasnya dan Mocha berusaha sadar supaya tidak pingsan. "Mau beli cuanki gak, Dek?" tanya penjual cuanki tersebut. Supaya gak sesak nafas dan gak pingsan, mereka berdua pun pesan cuanki dua porsi.

Setelah memesan, mereka berdua pun duduk di bangku yang ada di depan patung tersebut. Selang beberapa menit, cuanki tersebut akhirnya selesai dibuat. Tak butuh waktu lama, mereka berdua pun lahap menikmati cuanki tersebut. Penjual cuanki tersebut senang nan bahagia melihatnya. Saat tengah makan, Cino kepikiran tentang Kevin. Sepertinya ia membutuhkan informasi apapun seputar Kevin. "Mocha, kok kamu bisa kenal sama Kevin?"

"Oh itu, pertama kali aku kenal itu pas demo ekskul. Nah, sepulang sekolah di hari itu, tidak sengaja aku ngelihat dia pulang ke rumahnya. Dan dia tetangga aku dong. Kita cuma beda beberapa blok rumah doang." Mocha menanggapinya dengan santai.

"Oh gitu." Cino pikir, sepertinya informasi itu sudah lebih dari cukup.

Mereka berdua pun selesai makan cuankinya. Perut mereka sudah kenyang. Yang ada di pikiran mereka cuma siapa yang akan membayar cuanki ini. Entah akan ditraktir atau mentraktir. "Jadi, siapa yang akan mau bayar?" tanya penjual cuanki.

"Aku!" jawab mereka serentak.

Hening seketika, penjual cuanki malah terkekeh mendengarnya. "Biar aku saja ya, Mocha" Cino memasang muka melas. Mocha merasa tidak enak. "Biar aku saja, Cino," pinta Mocha.

Beberapa menit dipenuhi oleh debat siapa yang akan bayar. Penjual cuanki hanya bisa bengong melihatnya. Akhirnya keputusan sudah ditentukan. Yang akan bayar cuanki adalah mereka berdua tetapi bayarannya dibagi dua. Setelah membayar, mereka berdua pun pergi ke kolam pertama kali mereka jumpa.

Ingatan mereka terbawa kembali ke saat-saat dulu. Dimana mereka masih seorang bocah kecil yang polos. "Hai, kamu kok sendirian aja? Biar aku temenin ya?" gombal bocah laki-laki tersebut. Bocah perempuan tersebut merasa tertarik dengan bocah laki-laki tersebut. "Silahkan," jawab bocah perempuan.

"Oh ya, kita belum berkenalan. Perkenalkan, namaku Cino Aksa Azri. Kamu siapa?"

"Aku Mocha Ayunindya Eri. Senang berkenalan denganmu."

Kolam tersebut menjadi saksi pertemuan dua bocah tersebut. Kolam tersebut juga menjadi saksi tragedi pertama. Tragedi kesedihan pertama yang terjadi. Tragedi yang tak akan mereka lupakan.

MochaccinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang