Sunshine Next Door

753 117 4
                                    

PR musim panas yang jumlahnya bisa menyamai seluruh seri Icha-Icha Paradise milik Kakashi-sensei menumpuk setengah meter di atas meja belajarku. Baru pada pukul satu malam aku mengangkat kepalaku dari lembaran-lembaran buku itu.

Aku berdiri untuk merenggangkan otot. Kubuka jendela untuk membujuk angin sepoi-sepoi masuk ke dalam kamarku. "Naruto belum tidur," kataku menyadari lampu kediaman tetangga apartemen yang masih menyala. Rupanya pemuda acuh itu bisa sedikit bertanggung jawab. Dengan tingkat kecerdasannya, aku memberinya poin tambahan karena dia bersusah payah mengerjakan tugas sekolah.

"Aku akan memberinya jus jeruk sebagai hadiah." Aku melangkah keluar jendela dengan sebotol minuman dingin. Beranda kamar kami terhubung satu sama lain, hanya dipisahkan oleh jeruji besi setinggi pinggang orang dewasa.

"Naruto!" seruku memanggil pemuda yang sedang duduk serius di tempat tidurnya. Dia bertelanjang dada. Buku-buku berserakan di sekitarnya.

"Umm ... Hinata," katanya tanpa menoleh. Tidak ada reaksi berarti darinya. Dia masih serius menekuni gawainya tanpa terusik. Lelaki itu memencet layar ponselnya dengan kecepatan dan kekuatan menyerupai orang kerasukan. Aku bahkan berpikir, dia akan melubangi layar ponsel pintar itu dengan jarinya.

"Sudah kuduga." Aku menghela napas kesal. "Kushina-baasan tahu apa yang kau lakukan?"

"Aku sedang belajar, sekarang bermain game untuk menyegarkan otak," jawabnya membela diri. Aku merasa bodoh sekarang. Kesal, aku meminum jus yang kubawa untuk diriku sendiri.

"Naruto ... sebenarnya ...." kataku ragu-ragu. Aku sangsi untuk memberitahunya perihal pengakuan cinta sahabat karibnya. "Aku bertemu Uchiha-san siang tadi."

"Apa yang diinginkan Si Dobe itu?"

"Dia mau aku menjadi kekasihnya."

"Oh."

Respon singkat yang menyakitkan. Aku berharap dia sedikitnya merasa terkejut atau menganggap serius masalah ini. Aku memang menyukai Naruto sejak lama. Tetapi, perasaan itu hanya sepihak saja. Sebelum Hinata yang tegar menunjukkan kelemahannya, aku akan keluar dari kamar ini secepatnya. Setidaknya, aku sudah tau jawaban apa yang akan kuberikan pada Uchiha Sasuke esok.

Tiba-tiba jendela menutup dengan keras, kacanya sampai bergetar. Naruto membantingnya tepat di depan wajahku. "Apa yang kau lakukan?" kataku memelototinya.

"Bukankah itu pertanyaanku? Seorang gadis berada di kamar laki-laki pada tengah malam, apa yang sedang kau mainkan, Hinata? Menggodaku?"

Untuk pertama kalinya, aku merasa takut pada Naruto. Sorot tajam matanya, mengunci gerak dan kata-kataku. Wajah dan ekspresi lapar itu seperti bukan dirinya. Tubuhku gemetar, aku terpojok seperti mangsa. Nyaliku menciut. Air mata lolos begitu saja dari ujung mataku.

Tidak disangka, sebuah pelukan lembut darinya, meluruhkan semua keteganganku. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat di ceruk leherku.

"Maaf," katanya. "Jangan pergi pada Sasuke," pintanya dengan suara pilu. Aku mengangguk sekeras yang aku bisa.

The End





Drabble NaruHinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang