Because Princess Doesn't Cry

10.3K 730 11
                                    

Cafe Berrerie di rooftop Grand Jakarta ini sering di sewa oleh kalangan sosial atas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cafe Berrerie di rooftop Grand Jakarta ini sering di sewa oleh kalangan sosial atas. Resepsi tertutup, arisan, atau reuni sering diadakan di sini. Satu-satunya alasan yang membuat tempat ini menjadi pilihan pertama mereka adalah servis yang ditawarkan berupa garansi kebocoran info apa-apa yang terjadi di sini kepada wartawan. Semisal, semacam berita milyuner tengik yang senang bikin pesta seks massal gitu, deh.

Hari ini juga, Sofia meminta Jonas untuk memesan seluruh tempat hingga jam makan siang.

"Saya mau jemput si kembar di rumah Bu Julia setelah ini."

"Ok, Bu."

Sofia menghela napas.

"Kalo cuma berdua, panggil Sofia aja, Nas. Males formal-formal gitu."

Jonas menggaruk kepalanya, "Baik, Bu ... eh, Sofia."

Seandainya Sofia tidak sedang mengamati macetnya lalu lintas ibu kota, pasti dia bisa melihat wajah Jonas yang memerah saat menyebut namanya.

"Darliiiiing, i miss you so much! Mana ponakan gue, kok nggak dibawa sih?"

Joan melayangkan kecupan di pipi kanan dan kiri Sofia.

"Lagi dititip bentar tempat Nenek Singa dari malam penggalangan dana. Eh, Risma mana?"

Alih-alih menjawab, Joan mengamati wajah Sofia.

"Concealer lo agak tebel, ya? Ada yang agak aneh sama muka lo. Masih rajin ngemil goji berry nggak sih? Apa perlu gue bikinin appointment ama Niki biar di-treatment itu kantong mata?"

"Biasa, lembur sampe pagi," jawab Sofia mencoba sedatar mungkin.

Tampaknya usaha Sofia berhasil, karena Joan tidak bertanya lebih jauh.

"Itu bukannya asisten Mario? Kok sekarang nempel sama lo?" bisik Joan.

Mata Sofia mengarah ke Jonas yang duduk tidak jauh dari mereka, sibuk dengan ponsel dan headset-nya.

"Gosah bisik-bisik, orangnya nggak bakalan denger. Mario yang nyuruh. Per hari ini, dia asisten gue."

Mulut Joan membentuk kata woaaa tanpa suara.

"Haaai, sori telat. Gue kira cuma kita-kita aja. Taunya ada jejaka tampan di ujung sana. Eh, gue cicip boleh nggak, dikit aja?"

Risma datang dengan pakaian serba terbuka di sana sini. Biasanya usai acara mereka bertiga, dia ada janji dengan salah satu ... kliennya.

Sofia melotot, "Lo pikir dia apaan? Pangil berondong lain lo aja ke sini daripada ngembat Jonas."

"Ecie, posesif bener. Lo demen berondong juga? Tenang aja, habis dari sini gue mau berenang ama Asoka," timpal Risma.

"Ris, lo nggak takut ketahuan Soni, slengki sana-sini? Nggak takut kena penyakit menular seksual apa?" selidik Joan.

Joan kalau bicara memang suka benar. Benar menyampaikan resikonya yang mengerikan, sekaligus jadi peringatan untuk Risma. Wanita macam Risma, nggak bakalan mempan diancam kecuali melalui pembeberan fakta yang nyata.

"Halah, Soni mah sama aja. Jadi, gue ngikut aja, sih."

Sofia menegakkan bahunya mendengar jawaban Risma.

"Soni tau? Dia juga begini? How come? Gue mesti sedih apa gimana, nih? Kok lo baru cerita?"

Risma meneguk martininya.

"Sof, hidup sosialita kayak kita-kita ini nggak ada yang indah nggak bercela kayak lo. Gue ih realistis ya, Soni is a bussinessman, dia ketemu banyak orang juga perempuan yang secara visual lebih oke dari gue. Gue juga. Secara materi, kami udah masing-masing, selesai. Apa sih esensinya nikah? Buat bikin keturunan yang sah, kan? Ya udah. Anak gue udah ada, terus mau apa lagi?"

"Elo mah jadiin nikah buat kedok aja, Ris. Sofia sama Mario beda. Gue juga." sahut Joan.

"Siapa yang mulai duluan? Soni apa elo?"

"Bitch, masak yang gitu harus lo tanya. Ya Soni, lah! Pokoknya selama dia begitu, gue juga. Dia jahat, gue jahat. Di baik, gue baik. Simple."

Joan memerhatikan reaksi Sofia yang berbeda dari biasanya. Rasa ingin tahu Sofia sukses melebihi tingkat cuma kepo saja. Naluri Joan sebagai dokter mengajarkannya untuk menganalisa semua yang tampak di depan mata.

"Trus?"

"To the point aja deh, Sof. Apa yang mau lo au dari gue?"

"Kalian bahagia?" cicit Sofia.

Joan menyela jawaban Risma, "Lo kenapa, Sof? Lo nggak biasanya banyak tanya. Biasanya lo bakalan banyak cerita Mario begini, Mario begitu sampe kami berdua ngences."

"Same here," Risma meneguk gelas martini keduanya.

Sofia bimbang. Dia percaya kedua sahabatnya tidak akan membocorkan rahasia besar, tapi apa yang akan dia utarakan berikutnya adalah aib suami.

"Nggak mau cerita? Gue yang tebak, deh. Laki lo selingkuh?"

"Anjir, lo kok ngomong gitu Ris? Nggak mungkin lah Mario ... "

"Iya."

Ucapan Joan terputus. Dia dan Risma bereaksi berbeda. Risma menyeringai, "Gue tau siapa jalangnya."

Kali ini giliran Sofia yang terperanjat.

"Gue telat ke sini karena ngekorin laki lo sama pereknya di bawah."

Falling for Banana (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang