45. Home

7.8K 687 44
                                    

Entah berapa lama Mario tidak menginjakkan kaki di kediamannya. Tempat yang dia beli dan pugar untuk Sofia dan kedua buah hati mereka. Rumah mereka tidak pernah sepi. Setiap dia pulang dari kantor atau perjalanan bisnis, Sofia akan selalu menyambutnya dengan ceria di depan pintu.

Istrinya akan selalu tersenyum, membawakan tas dan barang-barang lainnya. Dia juga akan menyediakan segelas kopi hitam yang ditujukan untuk dirinya.

Sofia akan membawakannya handuk, menyiapkan baju ganti, melepaskan pakaian kotornya. Dia juga tidak oernah lupa bercerita tentang kesehariannya di rumah. Tingkah laku anak-anak, semua cerita yang tidak ada Mario di dalamnya.
Sofia berhasil membuatnya selalu dirindukan di rumah oleh kedua putri mereka.

Mario tidak pernah asing dengan rumah walaupun dia jarang sekali berada di rumah. Entah sejak kapan Mario melupakan semua kehangatan itu. Dan kini dia sudah merindukannya. Merindukan Sofia, rumah tempat dia kembali pulang.

“Bapak sudah pulang?”

Salah satu pembantu menyapanya yang berdiri menatap foto keluarga kecil mereka di ruang tamu. Masih lengkap dengan sepatu dan tas kerja di tangan.

“Mau saya bawakan ke ruang kerja, Pak?”

Ah, Mario seperti anak kecil yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Menyadari kegagapannya, Mario menolak. Malu.

“Aku bebas bersikap seperti anak kecil yang manja saat bersama Sofia.” Keluhnya.

Waktu itu sudah terlewat lama sekali. Sejak kapan? Mario memijit keningnya. Dia berusaha mengingat-ingat satu kejadian yang membuatnya melupakan semuanya. Mario berdiri seketika. Dia teringat satu hal.

Lelaki itu menyusuri koridor panjang menuju kamarnya dengan langkah lebar-lebar. Mario bergegas menuju nakas, mencari scrapbook yang selalu istrinya kerjakan belakangan ini. Matanya membelak saat menemukan yang dia cari.

Buku bersampul biru muda, berhias balon-balon kecil di depannya. Ketika Mario membuka lembaran buku yang berisi foto-foto Marion dan Marionette, sebuah kaos kaki kecil berwarna biru dengan motif garis-garis terjatuh. Jantungnya berdegup kencang.

Pelan-pelan dia membalik halaman dengan benda mungil itu di tangan. Matanya membasah ketika membaca tulisan tangan Sofia:

“Untuk lelaki kecilku yang lebih disayang Tuhan dari apa pun di dunia.
Maafkan Mama belum bisa menjagamu dengan baik.
Semoga sekarang, kamu bebas bermain bola di atas sana.”

Kehidupan pernikahan mereka menjadi hambar setelah Sofia keguguran anak ketiga mereka dalam usia kandungan tujuh bulan. Sofia mengalami perdarahan hebat karena kelelahan mengurus si kembar yang baru berusia dua tahun. Sofia menolak mengandalkan pengasuh saat itu. Dia merasa sanggup mengurus kdua buah hatinya selagi mengandung.

Hal itu menyulut kekecewaan Mario terhadap Sofia. Bukannya mendampingi Sofia yang masih dalam pemulihan karena kehilangan janin dalam kandungan, Mario memilih bekerja lebih keras dan jarang pulang ke rumah. Sofia tidak sedikit pun bertanya atau mengeluh.

Di tengah kehilangan dan kekecewaan yang begitu besar, Mario bertemu dengan Lily. Dia sebenarnya sudah lama mengenal Lily. Mulanya mereka berdua hanya merupakan teman sarapan bersama. Lambat laun kedekatan itu kian intim.

Mario memukuli kepalanya dengan buku biru itu. Tanpa sadar dia menangis, menyadari ketololannya sendiri. Sekarang, apa yang bisa dia lakukan? Dia tidak bisa begitu saja meninggalkan Lily.

Dia menjanjikan banyak hal pada Lily, termasuk menikahinya di kemudian hari. Wanita itu juga mengorbankan banyak hal demi berada di sisi Mario sampai sekarang. Di satu sisi, dia benar-benar merindukan rumahnya saat ini.

Hatinya memanas ketika dia mengingat janjinya pada Sofia di awal pernikahan mereka.

"Kamu satu-satunya. Hanya kamu."

Falling for Banana (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang