51. Falling for You

9.2K 750 41
                                    

Mereka berempat terdiam. Tidak satu pun yang ingin membuka suara.

"Julia bilang, anggap ini hadiah karena sudah menjadi anak terbaik selama ini. Dan dia ... minta maaf."

Suara Sofia memelan hingga akhir kalimat.

"Nenek Tua minta maaf?"

"Gils, ini akibat gue semalem nonton Omen atau gimana? Ada efek merinding muncul setan gitu denger Julia minta maaf."

"Yah, siapa tau? Tapi berkat Mama Julia, gue bisa lepas penuh dari Mario. Dia cuma bilang nggak ikut campur lagi. Berharap yang terbaik. Dan nggak mau dijauhkan dari cucunya."

"Buset, kesambet Jin Iprit kayaknya dia ya? Mario gimana?"

"Ngapain lo tanyain dia?" Ketus Joan.

"Yaelah, kali aja tu gerandong masih mepetin Sofia. Ya gak, Sof?"

Sofia mengangguk.

"Kadang dia main ke tempat gue, ngajak anak-anak jalan. Tapi gue nggak ikut. Kan masih monitoring produksi. Sekarang juga makin sibuk. Anak-anak juga ngerti sih keadaan kami. Sukur deh."

"Wait, Mario masih sering ketemu sama lo? Lo nggak minta perlindungan anak atau apa gitu dari hakim biar nggak ganggu lo sama anak-anak?"

Sofia menutupi wajahnya saat mendongak, melihat matahari terik supaya pikirannya kian jernih. Membuka cerita kemarin memerlukan perjuangan. Ada sedikit sakit, sesak, sesal berbaur di masa lalu. Mengingatnya saja butuh keberanian.

"Masih. Gue nggak mungkin jauhin anak-anak dari bokapnya, Jo. Gue juga nggak nyuruh Marion Marionette benci bokapnya. Cukup benci kesalahannya aja, jangan orangnya. Dua anak perempuan gue masih butuh bokapnya."

Joan termangu.

"So, kamu tidak ada niat mencari pasangan lagi, Sofia?"

Risma mengacungkan jari tengahnya ke depan muka Brian.

"Your face! Sadar diri udah punya bini, woy!"

Muka Brian merah saat tertawa mendengar ucapan Risma.

"I know i know. Bukan saya juga. Maksudnya, Sofia tidak berminat untuk kencan atau semacamnya? Look at you, Sof! Kamu cantik, seksi, pintar. Tidak akan ada lelaki normal menolakmu begitu saja."

Lagi-lagi Sofua hanya tersenyum menimpali perkataan Brian. Satu hal yang dia pelajari sejak bercerai adalah betapa sikap seorang janda sangat diperhatikan di kalangan masyarakat.

Terlalu friendly, dibilang gatal.
Terlalu acuh, dibilang sok jual mahal padahal expired.
Terlalu banyak omong, disebut tebar pesona.
Maka Sofia memilih senyum sebagai jurus pamungkas terakhir setiap mendapat pertanyaan yang menjurus romansa.

"Lo semua masih betah nggak di sini? Serius, pindah ke lounge aja, yuk! Rasa-rasa mau telanjang aja gue biar nggak kegerahan gini. Sial."

Menuruti kemauan Risma adalah jalan terbaik demi kesejahteraan telinga mereka bertiga. Bila diacuhkan, maka Risma akan terus mengoceh tanpa henti tentang cuaca terik hari ini.

"Kita mau ke mana?"
Brian mengancingkan arloji yang dia keluarkan dari saku. Sofia memandangnya curiga.

"Jam saya terlepas saat turun dari mobil tadi. Oh astaga, jangan menaruh curiga pada saya, Sofia. Jangan, jangan hubungi dia juga. Saya bisa dijadikan daging asap saat tiba di rumah nanti," keluhnya.

Sofia yang berniat menggodanya, tertawa. Kedua sahabat ini berdiri bersisian. Tangan Brian berada di belakang Sofia, menjaganya supaya tidak terjatuh. Bagi orang lain yang baru melihat, mungkin berpikir mereka berdua adalah pasangan yang romantis.

Pintu dari dalam Bollywood Terrace lebih dulu terbuka sebelum tangan Brian meraih handlenya. Dari dalam muncul lelaki dengan janggut halus di sepanjang rahang. Dia mengenakan jaket kulit dan kacamata hitam. Topi baseball navy menambah ketampanan lelaki itu.

"Yo, lama banget lo, Jo! Kita hampir capcus tau."

Joan yang berdiri di belakang Sofia berteriak ke arah lelaki itu.
Jantun Sofi seolah melorot sampai kaki. Bagai tayangan lambat, lelaki itu segera memeluk Joan ert dan tertawa. Aroma aftershave yang Sofia mimpikan setiap malam terendus hidungnya.

Lelaki itu berpaling ke arahnya, membuka kacamata dan tersenyum. Kedua mata itu masih sama. Simpatik, penuh kedamaian.

"Apa kabar, Sofia?"

Falling for Banana (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang