44. One by One

7.7K 648 40
                                    

Ruang kerja Mario sepi. Tidak ada aktivitas semenjak video rekaman itu beredar. Mario yang saat itu sedang memimpin rapat dengan direksi perusahaan mengamuk dan tidak kembali ke ruang rapat. Mukanya merah padam ketika mendapati beberapa karyawan menoleh kepadanya sambil berbisik satu sama lain.

Dia juga sempat memukuli office boy yang kedapatan tertawa saat melihat ponsel. Padahal belum tentu orang itu sedang menertawakan dirinya. Mau bagaimana? Nasi sudah menjadi bubur. Seisi kantor sudah tahu perihal kedekatannya dngan Lily. Wanita itu terang-terangan menapakkan kaki di kantor Mario sejak Sofia tidak pernha lagi datang makan siang bersamanya.

Semua jadwal kegiatannya bersama Sofia diambil alih Lily. Mario sempat protes, tetapi Lily berdalih, toh lambat laun semua akan tahu. Kesalahan akan dibebankan kepada Sofia. Semua berjalan sesuai kemauan Mario tepat sebelum video rekaman tu beredar.

“bagaimana bisa, Babe? Siapa yang melakukan ini?”

Mario memerintahkan stafnya untuk menggeledah apartemen Lily. Dia juga menginterogasi semua pegawai yang bekerja padanya. Tidak sedikit dari mereka yang babak belur menerima pukulan Mario yang termakan emosi. Nihil. Tidak ada satu pun yang tahu siapa atau bagaimana aktivitas itu bisa terekam sempurna. Mario meminta Lily untuk pindah dari apartemen itu ke tempatnya.

“No, Babe. Kalau aku pindah sekarang, ketauan banget kan kalo orang itu adalah kita.”

“nggak usah berpura-pura lagi, Babe. Lihat, ini mukamu dan aku! Kecuali kita punya doppelgangger, ini mustahil terbantahkan!”

Lily sendiri tidak menyangka kalau Sofia akan bertindak sejauh ini. tidak mungkin wanita polos yang terlihat tidak tahu apa-apa itu bisa berpikir licik begini. Bekas kemerahan di tubuh Marii yang sengaja Lily tinggalkan setiap mereka bermesraan saja, Sofia tidak menaruh curiga. Apalagi sampai menaruh kamrea pengintai di apartemennya? Sudah pasti beberapa pihak pengelola apartemen atau paling tidak bwahan Mario terlibat di dalamnya.

Lily menggigiti kukunya. Kakinya bergerak cepat. Dia harus berhati-hati. Apa pun yang dia lakukan setelah ini pasti te;ah dipikirkan oleh Sofia. Ah, ya! Ada satu yang mungkin tidak dipikirkan Sofia.

“Anak-anak kamu gimana kabarnya, Babe? Udah berapa lama kamu nggak ketemu dia?”

Mario menyahuti Lily dengan ketus, “Aku nggak ada waktu ketemu mereka kalo pikiranku begini, Babe.”

“Babe,” Lily merangkul pinggang Mario manja.

“Kita kunjungi anak-anakmu, yuk? Mreka berdua di tempat Mama Julia, kan? Gimana kalo kamu mulai kenalkan aku sama anak-anak kamu? Biar chemistrynya ada duluan gitu.”

Anak-anak? Mario tidak bodoh. Dia tahu ke mana arah pikiran Lily. Wanita ini secara tidak langsung mendesaknya untuk memilih. Dia dengan halus meminta dirinya membukakan jalan masuk ke dalam kehiduoannya lebih jauh. Tidak, tidak. Bukan begini cara mainnya.

“Mau apa kamu?” hardik Mario.

Dia menatap Lily tajam. Nada suaranya tidak seperti biasa. Semarah apa pun Mario, lelaki itu tidak pernah berujar dengan nada terganggu seperti sekarang kepada Lily.

“Kukira kita sepakat, kamu nggak minta aku memilih antara kamu atau Sofia? Kamu sepertinya sudah mulai kelewat batas, Babe.” Mario membalik tubuhnya berhadapan dengan Lily. Asisten dan pengawalnya memohon diri satu per satu melihat ketegangan situasi antara mereka berdua sekarang.

Lily membuang pandangan ke sekitar, bersikap seolah apa yang dia ucapkan barusan bukanlah kesalahan.

“kenapa? Apa aku salah ucap? Melihat situasinya sekarang, bukannya lebih baik kita go public sekalian saja?”

“dengan melibatkan anak-anakku? Anak-anakku?”

Nada suara Mario meninggi. Dia menepis tangan Lily yang hendak meraihnya.

“Kamu tahu, Babe? Walaupun Sofia dari awal mendesakku untuk memilih di antara kalian, tidak sedikitpun dia memanfaatkan anak-anak untuk keuntungannya sendiri. Tidak. Sekalipun.” Dengusnya kasar.

“Ya, itu kan di depan kamu. Siapa tahu di belakangmu, dia sibuk menjelek-jelekkan dirimu di depn si kembar.” Lily mengusap punggung Mario dan memeluknya lagi. Kali ini Mario tidak menghindar.

Setelah jeda keheningan yang panjang, Mario mengurai pelukan mereka.

“Jangan pernah mengusik posisi anak-anak dan Sofia sebagai ibu mereka. Sofia ibu terbaik yang anak-anakku miliki.”

Sofia tidak pernah sedikit pun menjatuhkan sosokku. Baik di depan anak-anak, rekan kerja, keluarga. Dia melakukan semua yang kuminta. Tanpa tapi.

Lily mengamati perubahan raut wajah Mario yang melembut saat membicarakan Sofia. Tidak, ini tidak boleh terjadi.

“Aku butuh waktu sendiri. Aku telpon kamu nanti, Babe.”

Mario melengos pergi. Tanpa ciuman. Tanpa kehangatan.

“Sofia sialan,” geram Lily.

Falling for Banana (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang