11. A Man to Lean On

9.7K 660 15
                                    

.
.
.
Jonas tidak bisa berpikir jernih usai mencuri dengar percakapan Sofia, Risma, dan Joan tadi di kafe. Dia memilih bermain dengan Puck sebagai pengalih perhatian sekaligus kamuflase bahwa dirinya menguping.

Dalam hati Jonas dia tersanjung saat Risma menyebut dirinya pilihan paling tepat sebagai pelampiasan Sofia. Namun, Jonas juga kecewa karena Sofia tidak mengiyakan usulan Risma. Untuk pemikiran terakhir, Jonas bersumpah perlu melakukan ritual penyucian diri karena mengharapkan istri pria lain.

Mau bagaimana? Sofia sempurna. Sayangnya, Mario tidak melihat itu dengan baik. Jangan salahkan dirinya dan lelaki di luar sana yang menginginkan Sofia turut menghangatkan ranjang mereka setiap malam, jika tahu kelakuan Mario terhadap Sofia.

"Bu, sudah sampai."

Mario menghentikan laju mobilnya.

"Putar balik ke Avelon Ritz, saya udah kabarin bagian purchasing-nya buat kirim langsung ke alamat Mama."

Mario mengernyitkan dahinya. Avelon Ritz adalah apartemen milik Sofia, tempat tinggalnya dulu ketika masih kuliah kedokteran. Apartemen mewah itu hanya dikunjungi sesekali oleh Sofia untuk istirahat sejenak sebelum melanjutkan akitivitas sosial lain tanpa Mario.

"Mampir Farmer's Market dulu ya, belanja bahan makanan. Kabari Mario, saya pulang pas makan malam."

"Siap, Bu."

***

Sofia tidak bisa memilih langkah yang harus dia ambil. Sepertinya berdiam diri di Avelon baik untuk mendinginkan kepala. Oleh karena itu, dia memutuskan pergi ke sana alih-aloh mengunjungi kedua putrinya. Dia tidak mau, kedua belahan jiwanya itu merasakan masalah yang dihadapinya saat ini. Sofia juga merasa belum saatnya dia membuka semua aib Mario di hadapan Mama Julia.

Setibanya di parkiran apartemen, yang berada satu lantai dari kamarnya, Sofia keluat menenteng tas belanja aneka pasta, minuman, dan cemilan ringan. Dia menolak Jonas mengikutinya ke kamar, "Kamu di sini saja. Nanti pukul empat, ketuk kamar saya. Biar sempat mampir ke rumah Mama sebelum pulang."

Jonas mengangguk. Begitu Sofia hilang dari pandangan, dia segera mengirim pesan pada Mario. Rutinitas hariannya semenjak menjadi asisten pribadi Sofia. Sesekali, Jonas mengutuk pekerjaannya. Dia terjebak dalam situasi yang tidak bisa diselamatkan dengan kebaikan nurani. Bagaimana bisa, suami yang berselingkuh malah memata-matai gerak-gerik istrinya? Bukan sebaliknya?

Jonas ingin menolak tugas yang diajukan Mario padanya, tapi bagaimana bisa? Selain karena Mario yang membayar gajinya, pria itu juga yang berjasa besar dalam mengangkat derajat kehidupan Jonas. Tanpa Mario, mungkin dirinya kini sudah lama mendekam di balik jeruji besi.

"Keep your eye on her. Saya meeting ke Lombok. Tiga hari lagi baru pulang. Nanti saya kabari Sofia."

Isi pesan balasan Mario membuat isi perut Jonas bergejolak. Dia tahu dengan siapa Mario pergi. Setiap kali ada urusan pekerjaan di luar kota, di sanalah Lily berada. Jonas hapal betul, karena setahun belakangan ini dirinyalah yang mengurusi semua akomodasi mereka berdua. Miris bukan?

Jonas melirik Aigner emasnya, setengah jam lagi pukul empat. Entah apa yang Sofia lakukan di apartemennya. Mendadak, hati Jonas merasa tidak enak meninggalkan Sofia seorang diri dengan kondisi psikologis yang tidak stabil.

"Fuck, fuck, fuck!"

Jonas berlari ke depan pintu apartemen Sofia. Dia memencet bel berkali-kali. Nihil, tidak ada tanggapan. Saat berusaha memaksa masuk, Jonas terkejut dengan pintu yang tidak terkunci sama sekali. Dia menerobos masuk, berbalap dengan detak jantung yang kian kuat.

"Bu? Bu Sofia?"

"Apa?"

Jonas segera menuju ke arah dapur. Sedetik kemudian dia merasa lega menemukam Sofia baik-baik saja. Tak berapa lama, tangannya mengepal, tubuh Jonas limbung ke samping melihat keadaan Sofia yang sedang duduk di lantai.

"Sudah kubilang, Sofia saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sudah kubilang, Sofia saja."

Jonas menelan ludahnya. Hatinya perih melihat keadaan Sofia yang berantakan. Niat Sofia untuk memasak dikacaukan suasana hatinya sendiri. Dia sekarang memilih duduk di depan kulkas, menghabiskan potongan wafer terakhir. Kaleng minuman, bungkus makanam berserakan di sekitarnya. Dia tidak lagi sempurna, tapi justru Jonas semakin menginginkannya.

"Apa yang kamu lihat, Jonas? Perempuan yang menyedihkan ya? Sakit jiwa mungkin? Ah, masokis kata Joan. Masih bertahan walau rasanya sakit."

Sofia menjepit kepalanya di antara kedua lutut, "Kenapa nggak cukup aku buat dia, Nas? Kenapa?"

Jonas merasa kehilangan napasnya saat mendengar ucapan Sofia. Seolah separuh jiwanya digenggam erat dan menguap ke udara.

"Sofia," desis Jonas sambil mendekat.

Sofia mengangkat kepalanya, matanya basah, tapi bibirnya tetap merah merekah, "Apa aku nggak pantas dicintai tanpa tapi?"

Falling for Banana (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang