18. His Heart is Mine.

11.3K 664 53
                                    

Lily tersenyum sinis. Dia mengencangkan tali pengikat handuk kimononya dan menjauhi kamar Mario tak lama usai Sofia mengunci jendela kaca.  Dia menuju kamar lain yang dipesan atas nama Mario dengan santai. Lily memang tidak peduli jika Sofia dan pasukan sucinya datang memergoki dirinya dan Mario sedang bercumbu mesra sekalipun. Lily tahu, sedari awal ketika Mario membohongi Sofia, kemenangan sudah berpihak padanya.

Lily menghempaskan tubuhnya di atas sofa gading sambil mengagumi kuku hasil menicure kemarin, "Ya? Oh, gak papa. Aku ada di sini kalo kamu mau ketemu aku, Yang."

Lily tersenyum miring, sambil memainkan ujung rambut di depan kaca. Mario bersuara di ponselnya, memberi kabar keadaannya sekarang. Lelaki itu bilang dia akan bermalam dengan Sofia dan anak-anak. Dia meminta Lily bersabar menunggunya. Lily tertawa puas dalam hati.

Wanita ini tahu dia bahkan bisa meminta dunia pada Mario sekarang, tetapi tidak dilakukannya.
Lily tidak akan menuntut lebih dari ini. Dia bersedia dijadikan nomor berapa pun tanpa imbalan apa-apa. Hanya dengan itu Mario akan selalu kembali padanya tanpa diminta.

"Coba lihat, pesan room service atau ikut turun makan di resto saja ya? Mana yang asik nih?"

Lily berdiri, mengurai simpul kimoninya hingga bajubhanduk itu jatuh ke lantai. Jemarinya menelusuri daftar menu yang tergeletak di dekat televisi.

"Kayaknya, lebih enak makan di tempat ramai daripada sendirian di sini. Ya kan, Cantik?"

Lily berbicara dan menyentuh bayangannya tanpa busana di cermin. Perlahan sambil bersenandung, Lily memasuki kamar mandi.

***

Sofia menggigit bibirnya kuat-kuat saat menguping pembicaraan Mario dengan Lily di kamar mandi. Walaupun suaminya menyalakan shower bahkan flush toilet sekali pun, telingan ibu yang sering terjaga karena bayi menangis nggak mudah dikelabui. Meskipun Spfia tahu ini konsekuensi dari tindakannya menyusul Mario, jauh di lubuk hatinya dia tetap terluka.

"Sudah siap, Sayang?"

Sofia menghampiri Mario. Dia berdiri dengan anggun, menggamit lengan Mario sambil tersenyum. Mario mengamati Sofia. Istrinya yang sadar sedang diperhatikan kini salah tingkah.

"Kenapa? Mukaku aneh? Menor banget?"

Kening Mario mengernyit, "Nggak. Kamu cantik, Sayang. Cuma agak beda aja. Masa subur gak sih?"

Sofia tergelak, "Kalo masa subur emangnya bikin aku tambah cantik?"

Mario menghadap ke arahnya, memegang wajah Sofia sambil terus menatapnya dalam-dalam.

"Kamu beda, Sayang. Mata kamu lebih ... hidup. Cantik. Seksi. Bergairah."

Tangan Mario menyusuri punggung Sofia, berhenti di bagian kesukaannya. Menangkup, meremas, dan mendoron Sofia kian merapat padanya. Tubuh Sofia menegang. Begitu pula hasrat Mario di bawah sana.

"Kita mau makan, kan? Anak-anak sama Mama nungguin di bawah," bisik Sofia ketika Mario tidak berhenti menciumi ceruk lehernya.

"Aku bisa makan kamu di sini, Sayang."

Sofia mengerang. Tangannya menekan dada Mario, berusaha melepaskan diri dari dekapannya, "Berhenti."

Satu kata dengan nada memerintah keluar dari bibir Sofia. Mario waspada.
Dia tidak suka diinterupsi, siapa pun orangnya.

"Apa?"ucapnya tidak suka.

"Aku bilang pindah kamar."

"Tapi."

"Oke, kita turun makan sekarang. Kamu nggak mau dengar aku."

Mario menarik tangan Sofia dengan gusar, "Kalo kita pindah sekarang, gimana?"

Sofia tersenyum sambil menarik kerah kaos polo yang Mario kenakan ke arahnya.

"Kita makan sekarang. Selesai kamar dan baramg-barang diurus, kamu dapat hadiahnya," Sofia berbisik, sedikit menyentuh telinga Mario dengan lidahnya.

Mario menjilati bibirnya. Dia kelaparan. Baginya, Sofia adalah hidangan yang harus disantap tanpa penundaan.

"Ayo, makin lama selesai makan, makin lama hadiahnya dibuka, Sayang."

Sofia menggoda suaminya dengan membungkukkan tubuh hingga belahan dadanya mengintip dengan leluasa. Mario menelan ludah, "Baiklah."


Falling for Banana (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang