29. Free Fall

7.6K 663 42
                                    

Sofia tadinya ingin tidur selama penerbangan yang hanya memakan waktu 55 menit. Namun dia terpaksa menjawab pertanyaan basa-basi dari seorang wanita yang duduk di sebelahnya. Wanita berbalut gaun terusan floral kekuningan itu semula bertanya tempat tujuan Sofia. Berlanjut pada pertanyaan, “Sama siapa ke sana?”. Ekspresi terkejut dengan mulut membentuk huruf o diperoleh Sofia sebagai reaksi atas jawabannya. Kaca mata dengan uliran keemasan pada gagangnya merosot. Seolah jawaban Sofia adalah aib baginya.

“Kenapa nggak pergi sama suaminya?”

Sofia ingin sekali mengacuhkan pertanyaan yang menurutnya sudah kelewat batas itu. Demi kesopanan, dia menjawab sekenanya.

“Kerja.”

“Kamu kerja juga?”

Sofia mengangguk.

Wanita itu menghela napas, dia tanpa ragu menggenggam tangan Sofia yang bebas.

“Jangan lama-lama ninggalin suami. Pamali. Memang saya ini Cuma nenek tua yang nggak tahu apa-apa. Tapi, nggak sedetik pun saya ninggalin suami tanpa izin dan pergi tanpa ditemaninya.”

Dia menoleh ke balik punggungnya. Ada pria tua yang sedang memejamkan mata dan bersandar di bahunya. Kemudian bergulirlah satu per satu cerita dari mulutnya tanpa Sofia minta. Dia bercerita awal perkenalan mereka, perjodohan. Kemudian berlanjut pada cerita pernikahan yang tidak kunjung dikarunia anak selama sepuluh tahun.

Dia bercerita bagaimana perjuangan mereka merintis usaha konveksi yang kini menaungi dua ribu pegawai wanita. Dari caranya bercerita, pastilah rumah tangga mereka harmonis. Hangat, sempurna. Paling tidak itu yang ada dalam benak Sofia. Berbeda dengan rumah tangganya.

Wanita itu menangkap sorot mata Sofia yang meredup, “Oh ya ampun! Pasti cerita saya bikin kamu bosen, ya! Maaf loh, suami saya juga bilang kalo saya ini sulit berhenti bicara. Pasti kamu lelah. Maaf mengganggu, ya.”

Kalimat yang ditunggu-tunggu Sofia sejak tadi akhirnya terdengar juga. Lega. Sayangnya, Sofia  masih merasakan tatapan meneliti dari wanita itu.

“Iya, Bu, nggak apa-apa. Saya senang denger cerita ibu. Langgeng terus ya, Bu.”

Wanita itu membalasnya dengan senyuman. Tatapannya memandang jauh ke depan. Kosong. Dia seperti sedang terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lainnya.

“Yang kamu dengar dan lihat belum tentu seindah itu, Nak. Banyak perjuangan berdarah-darah di dalam rumah tangga kami. Percayalah. Munafik kalo saya bilang kami bahagia tanpa adanya masalah. Tinggal kami yang menjalankan saja, memilih untuk terus berjuang bersama atau tidak.”

Berjuang bersama?

Apa Mario mau meperjuangkan pernikahan mereka? Bukan tanpa sebab Sofia berpikir seperti itu. Kenyataan pahit yang harus dia telan beberapa bulan sejak kasus Lily ini terungkap, membuatnya pesimis dan merendahkan dirinya dalam segala hal.

Mario terlihat enggan menyudahi hubungannya dengan Lily. Malahan sejauh Mario bertindak, suaminya itu hendak melegalkan hubungannya dengan Lily. Sofia tidak habis pikir, bagaimana bisa perempuan merebut kebahagiaan sesamanya dengan cara seperti ini?

Hati Sofia kembali perih. Keningnya berkerut. Sofia berharap air matanya tidak jatuh sekarang. Dia lelah menangis. Tapi rasa sesak itu mendesak naik terus ke tenggorokannya.

“Kamu tahu? Lily itu nggak pernah sedikit pun menuntut macam-macam sama aku. Apalagi status! Bahkan dia nggak nyuruh aku milih antara dia atau kamu. Kurang baik apa dia?”

“Lily selalu ada kalo aku butuh. Dia tempat aku berkeluh kesah. Sama dia aku bebas mau ngapain aja.”

“Urusan anak kenapa harus kamu kasih ke babysitter? Ibunya kan kamu! Gitu aja ngurus anak nggak becus. Sibuk cari uang ke sana-sini. Uangku masih kurang untuk kamu?”

“Lily lebih cantik dari kamu. Dia keibuan. Dan tidak membosankan.”

Cukup.

Dia sudah meletakkan jauh-jauh mimpinya sebagai dokter demi Mario dan rumah tangganya. Dia menekan egonya untuk selalu berada di bawah suaminya. Dia mengalah. Sofia mengagungkan Mario melebihi siapa pun.

Suara dalam kepala Sofia berteriak.

Rasa sakit, dipermalukan, kehilangan jati diri dan mempertanyakan kemampuannya sebagai istri dan ibu sudah membayangi Sofia sejak saat itu. Dia enggan mengakui kalau mentalnya juga tersakiti. Namun, apa sejauh ini Mario peduli?

****
A.N

Mewek bombay saya nulis ini. Sabar ya, Sofia. Mohon maaf telat, ya Gaess. Nyai sempet drop, tapi sekarang udah mulai kuat lagi. Efek perubahan musim, hot issue cem corona yang bikin mental saya naik turun juga. Hadeuuh.

Bagaimana kabar kalian di daerah masing-masing? Saya harap semuanya sehat yaaa...

Semoga pandemi ini segera berlalu. Semoga negri kita kembali asyik seperti dulu kala.

Aamiin.

Falling for Banana (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang