Suara pisau membelah bawang dan beradu dengan papan telenan menjadi musik latar yang menemani Jiwon sore itu. Dan juga seorang gadis yang menjabat sebagai anaknya yang setia menunggui panci berisi air di atas kompor hingga mendidih berdiri di sampingnya.
Jiwon terseyum melihat putrinya yang sudah bertumbuh dewasa, membesarkan seorang diri setelah suaminya meninggal di saat usia Jennie masih kanak-kanak pun Jiwon masih banyak membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Itu Sangat sulit.
Jiwon sangat bersyukur dapat bertemu kembali dengan Kim So-jung, Istri dari Kim Seokjin yang kini sudah memiliki putra setampan Kim Taehyung. Yang sangat berbaik hati, memberikan kehidupan yang layak kepada Jiwon dan Jennie.
Wanita dengan tinggi maksimal dan senyum semanis madu itu menawarkannya untuk tinggal bersama di rumahnya.
Teman lama sejak sekolah menengah atas dan harus berpisah ketika lulus karena Kim So-jung harus melanjutkan pendidikannya yang lebih tinggi, sedangkan Jiwon dituntut orang tuanya untuk segera menikah. Pemikiran orang jaman dulu, menikah muda lebih baik daripada menjadi perawan tua dan berakhir tidak laku. Ada benarnya juga, sih. Hidup memang keras, dan terkadang tidak sesuai keinginan Jiwon yang sebetulnya ingin menempuh pendidikan yang lebih agar keturunannya kelak bisa hidup lebih baik.
Bahkan Jennie saat ini menjadi siswa nomor satu dengan nilai akademiknya yang mendekati hasil sempurna.
Suami yang sangat dia cintainya harus kehilangan nyawa setelah satu tahun terakhir sakit keras, meninggalkan Jiwon dan Jennie yang saat itu baru berusia lima tahun.
Nyonya Kim datang di waktu yang tepat.
Jiwon menarik napas lantas menghembuskannya perlahan, menyentuh pundak Jennie lantas berkata, "Jennie, bisa kau lanjutkan ini? Ibu mau memasak ayam kesukaan Taehyung dulu."
"Baik Eomma." Lantas Jennie mengambil alih pekerjaan ibunya.
Jiwon mengambil ayam potong dari dalam kulkas, mencucinya hingga bersih kemudian membuat bumbu untuk direbusnya bersama air yang Jennie masak.
"Jennie, apa kau baik-baik saja?" Tanya Jiwon pada Jennie yang masih sibuk dengan aktifitasnya memotong bawang.
Jennie mengulum senyum lantas berkata "Aku baik-baik saja."
"Maksud Eomma, kau tidak apa-apa terus menjalani hidup seperti ini?," Tanya Jiwon yang mulai serius.
Jennie menoleh menatap ibunya yang kini mulai mencurahkan isi hatinya.
"Eomma tahu kau punya mimpi. Seharusnya kau bisa mengejar mimpimu, tapi ibu malah menyeretmu kemari dengan pekerjaan yang seperti ini. Menjadi pembantu membuatmu tidak bebas, iya kan?"
Sambil memotong bawang, Jennie mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan ibunya.
"Maafkan Eomma, Jennie."
"Tidak Eomma. Eomma tidak perlu minta maaf. Aku sudah memilih jalan ini jadi aku harus menjalaninya."
Jiwon menyunggingkan senyum, merasa bangga denga anaknya yang satu ini, "Terima kasih sudah mau menjadi putri Eomma yang baik."
"Aku yang seharusnya berterimakasih karena Eomma sudah membesarkanku dengan baik," Jennie menatap ibunya, maniknya mulai berkaca-kaca "ohhh ya ampunnnn, siapa yang menaruh bawang di sini? Mataku perih." Jennie mengipas-ngipas wajahnya dengan telapak tangan namun satu tetes bening tetap berhasil meluncur melewati pipinya. Atmosfer menjadi terasa hangat. Jennie menangis sendu dengan senyum yang sesekali mengambil alih keharuan itu.
Jiwon yang menatapnyapun terbawa suasana, ikut terharu dan mengusap matanya yang mulai berair, "Dasar!" Katanya sambil terkekeh.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Hoax [√]
Fanfiction(Sudah terbit dalam bentuk e-book. Tersedia di google playstore) "Jennie kerjakan PRku ya!" "Jennie ambilkan celanaku!" "Jennie ambilkan itu!" "Jennie kau dimana? Akan kutinggal ya kalau kelamaan." Jennie terus Jennie terus. Lama-lama Jennie cape ju...